Kemajemukan merupakan ciri khas bangsa Indonesia. Seperti diketahui, Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan jumlah pulau terbesar di dunia, yang mencapai 17.667 pulau besar dan kecil. Dengan jumlah pulau sebanyak itu, maka wajarlah jika kemajemukan masyarakat di Indonesia merupakan suatu keniscayaan yang tidak bisa dielakkan. Dan perlu disadari bahwa perbedaan tersebut merupakan karunia dan anugerah Tuhan. Dalam segi bahasa, meskipun setiap warga Negara Indonesia berbicara dalam satu bahasa Nasional, namun kenyataannya terdapat 350 kelompok etnis, dengan beragam bahasa daerah yang dimiliki. (Choirul Mahfud : 2010)
Bahasa daerah merupakan ciri khas suatu daerah atau disebut juga kearifan lokal yang tumbuh dan berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat yang ada di daerah tersebut. Kearifan lokal lahir sebagai hasil cipta, karya, dan karsa manusia yang dibumikan dan dilestarikan serta dijadikan sebagai kebiasaan sehari-hari bagi masyarakat setempat. Terlebih bahasa sebagai alat komunikasi, maka bahasa mempunyai peran penting dalam masyarakat.
Pada dasarnya bahasa mempunyai fungsi yang sama, baik itu bahasa daerah maupun bahasa Nasional, fungsinya yaitu sebagai alat komunikasi dan penghubung, namun dalam perkembangannya bahasa Nasional digunakan dalam aktifitas formal, agar penyampaian pesan dapat dipahami oleh semua yang berada dalam kegiatan formal tersebut sedangkan bahasa daerah digunakan dalam kegiatan non-formal.
Bahasa kei merupakan bahasa yang digunakan oleh masyarakat yang mendiami kepulauan kei, termasuk rumpun bahasa Melayu-Polinesia Tengah (lihat peta). Bahasa kei atau “veveu evav”, sudah ada dan digunakan sejak ratusan tahun yang silam hingga saat ini masih dilestarikan. Pelestarian bahasa kei tidak terlepasa dari nilai-nilai historis dan nilai-nilai falsafah adat yang masih dipegang teguh. Namun sangat disayangkan, akhir-akhir ini bahasa kei mulai dilupakan penggunaannya oleh masyarakat kei. Bahasa kei hanya digunakan dalam kegiatan adat, sedangkan dalam kehidupan sehari-hari bahasa kei tidak lagi difungsikan, bahkan dalam kalangan masyarakat kei ada sebagian yang tidak bisa menggunakan bahasa kei. Kalau hal ini terus berlanjut maka mau dan tidak mau bahasa kei akan hilang dari tanah kei. Generasi muda kei akan kehilangan identitas kebahasaan dikarenakan lupa untuk melestarikan bahasa tersebut.
Pelestarian bahasa kei bukan lagi menjadi tanggung jawab generasi tua, tetapi menjadi tanggung jawab generasi muda. Luluhur telah menitipkan hasil karya sastra yang indah ini kepada kita selaku generasi muda untuk terus dilestarikan, bukan untuk dibuang atau dilupakan hingga nantinya akan dikikis oleh arus zaman. Semakin kompleksnya kehidupan manusia membuat kita lupa terhadap jati diri kita sendiri, terlebih budaya luar telah masuk dan bercampur dengan budaya kita, maka yang terjadi adalah “gengsi” (enggan) untuk berbahasa kei.
Apakah bahasa kei memiliki nilai sastra yang rendah sehingga kita merasa risih untuk menggunakannya? ataukah bahasa kei dianggap sebagai bahasa yang kuno dan telah ketinggalan zaman?. Dua pertanyaan ini menjadi misteri hati setiap insan yang mengakui dirinya sebagai orang kei.
Dari segi kesusastraan bahasa kei terlahir dengan keunikan sastranya sendiri hal ini bisa dilihat dengan adanya nyanyian yang menceritakan tentang perjalanan adat kei, atau nayanyian yang dijadikan sebagai tanda bagi suatu kejadian yang terjadi dalam suatu wilayah atau desa (biasanya disebut dengan kata tom tad). Selain itu ada pesan moral yang disampaikan leluhur kepada kita dengan media sastra kei seperti “hera ini antub fo ini, it did antub fo id did” atau “tuuv in su ni har in rat”, selain kedua pesan yang disampaikan dalam bentuk sastra tersebut masih banyak lagi pesan yang tidak disebut dalam tulisan ini. Sehingga dari segi kesusastraan bahasa kei memiliki nilai sastra yang tinggi.
Kata kuno atau ketinggalan zaman biasanya digunakan dalam menilai sesuatu yang telah lama keberadaannya dan tidak lagi menjadi “life style” (gaya hidup) bagi masyarakat. Jika bahasa kei dinilai sebagai sesuatu yang kuno dan tidak lagi menjadi gaya kekinian maka itu merupakan perspektif yang keliru. Kata kuno dan ketinggalan zaman hanyalah sebuah kesepakatan yang digunakan untuk mereduksi sesuatu yang telah lama digunakan dikarenakan ada suatu hal yang baru timbul atau diadopsi dari luar.
Pada dasarnya semua bahasa lahir sesuai dengan kondisi masyarakat, kondisi geograsfis dan kondisi lain yang mendukung lahirnya bahasa itu sendiri. Bahasa kei sama halnya dengan bahasa Indonesia (adopsi dari bahasa Melayu), bahasa Arab, bahasa Inggris, dan bahasa lainnya telah ada dan berkembang sejak ratusan tahun yang silam. Sehingga jika ingin mengatakan bahasa kei merupakan bahasa yang kuno atau ketinggalan zaman maka bahasa lainpun akan sama keberadaannya. Dengan demikian maka, perspektif bahasa kei sebagai bahasa yang telah kuno atau ketinggalan zaman hanyalah rekayasa sosial yang dilakukan untuk menghilangkan fungsi bahasa kei sebagai mather lengua (bahasa ibu) masyarakat kei.
Kemajuan suatu bangsa tidak terlepas dari nilai-nilai yang terkandung dalam kearifan lokal bangsa tersebut, olehnya itu jika kita tidak menghargai kearifan lokal kita maka kemajuan bangsa kita hanya menjadi sebuah hayalan semata. Olehnya itu, pelestarian bahasa kei merupakan bentuk dari menghargai kearifan lokal, karena pada dasarnya bahasa kei adalah bagian dari diri kita. Pelestarian bahasa kei bisa dilakukan dengan cara (a) membiasakan diri untuk berbicara dengan bahasa kei, (b) memberikan anak pendidikan bahasa kei dimulai dari lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat, (c) memasukkan bahasa kei ke dalam kurikulum pendidikan sekolah yang termuat dalam muatan lokal, (d) menjadikan bahasa kei sebagai bahasa pergaulan sehingga orang tidak merasa malu untuk menggunakan bahasa kei dalam pergaulan.
Bahasa kei sudah menjadi kebutuhan sosial-budaya masyarakat kei, olehnya itu menjaga kelestariannya menjadi suatu kewajiban moral yang mutlak harus dilakukan oleh generasi penerus nuhu evav, sehingga identitas kebahasaan ini tidak hilang suatu saat, dan nantinya generasi berikut akan menikmati bahasa kei sebagai simbol identitas mereka. Karena yang bisa membedakan kita dengan suku lain adalah bahasa itu sendiri, kalau kita tidak mempunyai bahasa khusus dengan cirinya sendiri maka apa lagi yang akan kita tonjolkan sebagai simbol identitas kedaerahan kita?