Hampir setiap komunitas masyarakat yang ada dan yang pernah ada dalam dunia ini, menerima warisan kebudayaan dari leluhur mereka. Warisan kebudayaan itu biasanya berupa gagasan, ide atau nilai-nilai luhur dan benda-benda budaya. Indonesia sebagai bangsa Bhineka Tunggal Ika yang memiliki berbagai macam suku dan budaya, yang semuanya memiliki latar belakang sejarah yang panjang dengan nilai budaya yang luhur. Tentu menjadi penting untuk kemudian dipahami lebih mendalam demi persatuan bangsa.
Sistem nilai budaya masyarakat Bugis-Makassar, oleh masyarakatnya masih sangat dijunjung tinggi. Sistem nilai ini lahir dari ketetapan adat orang Bugis-Makassar yang telah membentuk pola tingkah laku dan pandangan hidup orang-orang Bugis-Makassar. Karena adat adalah himpunan kaidah-kaidah sosial yang sejak lama ada, merupakan tradisi dalam masyarakat yang bermaksud mengatur tata tertib masyarakat. Dalam lontara diungkapkan bahwa: iya nanigesaraki adak biasana buttaya tammattikami balloka, tanaitongangnngami jukuka, sala tongi asea. "Jika adat kebiasan dirusak, maka tuak berhenti menetes, ikan menghilang, dan padi pun tidak jadi." Melanggar adat berarti melanggar kehidupan manusia, yang akibatnya bukan saja dirasakan oleh yang bersangkutan melainkan juga oleh segenap anggota masyarakat. Oleh karena itu orang Bugis-Makassar memegang adat secara menyeluruh dalam kehidupan dan sistem sosialnya telah melahirkan suatu keyakinan yang teguh bahwa hanya dengan berpedoman kepada adatlah kebahagiaan dan ketentraman hidup akan terjamin dan terjalin dengan sesama manusia dan lingkungan sekitar.
Oleh karena itu, seseorang yang berhasrat akan melakukan sesuatu, segalanya terpulang pada adat. Adatlah yang merupakan penentu patut atau tidaknya sesuatu yang dilakukan itu. "Punna Panggadakkan taena erokku, taena kulleku". "Jika menyangkut ketentuan yang diadatkan, tidak berlaku kemampuanku". Ada sebuah ungkapan yang dilukiskan dalam budaya Bugis-Makassar yang berkaitan dengan adat. "Adajaki tojeng iaji ranrang tatappu, ia barang bawang, mannanjo natunrung barak". Orang yang memegang adat kebiasaan negeri, menemukan di dalamnya sebuah tali jangkar yang tidak putus dan tidak akan bergeser dari tempat ditambatkan, meskipun perahu dihantam amukan badai dahsyat.
Persons dan Shils (Mattulada, 1989: 1) berpendapat mengenai sistem budaya dan sistem sosial yaitu; sistem budaya adalah gagasan dan pikiran dan pikiran yang terdapat dala alam pikiran manusia, sebagai totalitas yang saling berkaitan berdasarkan azas-azas yang saling berhubungan menjadi satu sistem yang relatif mantap dan berkelanjutan, sedangkan sistem sosial adalah suatu kompleks kegiatan atau aktivitas manusia yang saling berinteraksi dalam kenyataan sosial yang lebih konkret, dan dalam suatu sistem yang berpola
Pendapat di atas memperjelas bahwa sistem budaya yang dimiliki oleh orang-orang Bugis-Makassar itu adalah suatu gagasan dan pikiran orang-orang terdahulu yang diajarkan secara turun temurun dan terus menerus diterapkan pada generasi muda dengan suatu sistem yang relatif mantap, dan akan menghasilkan konsep-konsep tentang nilai-nilai budaya yang sangat dijunjung tinggi. Sistem nilai-nilai budaya yang berkaitan dengan konsep-konsep atau ide-ide yang hidup di dalam pikiran sebagian besar warga Bugis-Makassar mengenai apa yang dianggap bernilai, berharga serta penting dalam kehidupan mereka. Sistem ini biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi yang memberi arah dan orientasi bagi masyarakat Bugis- Makassar.
Sistem nilai budaya Bugis-Makassar Berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi tingkah laku manusia, maka sistem-sistem tata kelakuan manusia lain yang tingkahnya lebih kongkrit, seperti aturan khusus, hukum dan norma, semuanya berpedoman pada sistem nilai budaya tersebut. Walaupu pada dasarnya sistem nilai budaya atau adat tersebut pada posisi sentral sekalipun dn paling dalam dari kerangka suatu kebudayaan yang sifatnya abstrak, dan hanya dapat diungkap melalui pengamatan pada gejala yang ada. Nilai–nilai budaya masyarakat Bugis-Makassar mengambil pesan (Mappaseng) Bugis (Pappasang) Makassar, sebagai nilai-nilai budaya yang dijadikan pegangan dalam kehidupan masyarakatnya, Menurut Enre (1991: 3) adalah
Nilai-nilai kebudayaan adalah appasitinaja (kewajaran), lempu sibawa adatongeng (kejujuran dan perkataan yang benar), gettang (keteguhan pendirian), sirik lare ya esse babua passe (Harga diri atau belas kasih dan rasa perih), awaraningeng (Keberanian), toto iare ya were (takdir atau nasib)
Hal tersebut di atas dipilih sebagai nilai utama dalam budaya Bugis-Makassar bahwa manusia Bugis-Makassar yang ideal apabila memiliki, sifat, pandangan, dan perilaku tersebut. Sedangkan menurut Rahim (1992:100) menyatakan nilai utama budaya Bugis-Makassar ada enam yaitu: Kejujuran (alempureng), kecendikiaan (amaccang), kepatutan (asitinajang), keteguhan (agettengeng), dan usaha (reso) serta sirik (harga diri).
Sistem nilai tersebut tidak dapat dipisahkan yang mutlak dalam memandang kehidupan yang tidak bisa dibatasi oleh benda semata-mata, melainkan masuk ke dalam lingkungan kerohanian manusia Bugis-Makassar samapi sifat yang saklar suatu nilai tampak lebih jelas pada nilai-nilai tradisional yang berupa adat. Dan adat merupakan landasan hukum dalam bertindak sehari-hari bagi orang Bugis-Makassar. Adat sebagai landasan hukum bagi orang Bugis-Makassar dinyatakan oleh Abidin (1983;122) yaitu:
Rumusan yang tertuang untuk hukum yaitu, ade’ (Bugis) atau ada’ (Makassar dan Mandar) yang ditemukan berasal dari Latenribali, raja Cinotabi, yang kemudian menjadi Batara Wajo’ pertama (1436-1456) yang berbunyi: ”Adapun yang harus dibuat ”ade” ialah aturan yang bersih, jernih dan berkilauan, dan berlaku luas dengan baik dan kita sama jalani (taati) dan suruh taati serta kita persaksikan kepada Dewata Yang Esa”
Manusia Bugis-Makassar dalam menegakkan hukum adat yang tetap kokoh dalam membentengi kehidupan dan hampir setiap saat masih sering dipermasalahkan adalah masalah ”sirik” atau harga diri. Manusia Bugis-Makassar dalam usahanya untuk menegakkan ”Sirik” atau harga diri atau martabat keluarga sama sekali tidak memikirkan besarnya resiko sebagai akibat dari perwujudan tindakan yang dilaksanakannya itu. Setelah tugas menegakkan siri terlaksana, barulah diketahui akibat atau resikonya. Namun ada ungkapan yang menjaga sirik dengan adanya adat yaitu: Utettongi ri ade’e najagainnami sirikku. Artinya saya taat kepada adat, karena dijaganya sirikku.
Menurut Mattulada dalam (Abdullah, 1985: 62) menyatakan konsep sirik yang terdapat dalam dunia adat dikalangan masyarakat Bugis-Makassar, terdapat lagi sebuah konsep lain yang disebut pacce atau passe. Konsep sirik yang merupakan pandangan hidup dari manusia Bugis-Makassar, adalah jiwa dan semangat bagi setiap individu di masyarakat. Konsep sirik itu dilestarikan ke dalam nilai-nilai kebudayaan keluarga, baik Bugis maupun Makassar. Sekalipun mereka itu berada dalam lingkungan kebudayaan yang berbeda-beda. Dari konsep sirik na pacce inilah kemudian melahirkan budaya sipakatau. Karena budaya sipakatu dalam kehidupan masyarakt Bugis-Makassar dijabarkan ke dalam konsepsi Sirik na pacce. Dengan menegakkan sirik na pacce berarti sesorang telah menerapkan sistem nilai budaya sipakatau dalam kehidupan pergaulan kemasyarakatan.
Sistem nilai budaya masyarakat Bugis-Makassar, oleh masyarakatnya masih sangat dijunjung tinggi. Sistem nilai ini lahir dari ketetapan adat orang Bugis-Makassar yang telah membentuk pola tingkah laku dan pandangan hidup orang-orang Bugis-Makassar. Karena adat adalah himpunan kaidah-kaidah sosial yang sejak lama ada, merupakan tradisi dalam masyarakat yang bermaksud mengatur tata tertib masyarakat. Dalam lontara diungkapkan bahwa: iya nanigesaraki adak biasana buttaya tammattikami balloka, tanaitongangnngami jukuka, sala tongi asea. "Jika adat kebiasan dirusak, maka tuak berhenti menetes, ikan menghilang, dan padi pun tidak jadi." Melanggar adat berarti melanggar kehidupan manusia, yang akibatnya bukan saja dirasakan oleh yang bersangkutan melainkan juga oleh segenap anggota masyarakat. Oleh karena itu orang Bugis-Makassar memegang adat secara menyeluruh dalam kehidupan dan sistem sosialnya telah melahirkan suatu keyakinan yang teguh bahwa hanya dengan berpedoman kepada adatlah kebahagiaan dan ketentraman hidup akan terjamin dan terjalin dengan sesama manusia dan lingkungan sekitar.
Oleh karena itu, seseorang yang berhasrat akan melakukan sesuatu, segalanya terpulang pada adat. Adatlah yang merupakan penentu patut atau tidaknya sesuatu yang dilakukan itu. "Punna Panggadakkan taena erokku, taena kulleku". "Jika menyangkut ketentuan yang diadatkan, tidak berlaku kemampuanku". Ada sebuah ungkapan yang dilukiskan dalam budaya Bugis-Makassar yang berkaitan dengan adat. "Adajaki tojeng iaji ranrang tatappu, ia barang bawang, mannanjo natunrung barak". Orang yang memegang adat kebiasaan negeri, menemukan di dalamnya sebuah tali jangkar yang tidak putus dan tidak akan bergeser dari tempat ditambatkan, meskipun perahu dihantam amukan badai dahsyat.
Persons dan Shils (Mattulada, 1989: 1) berpendapat mengenai sistem budaya dan sistem sosial yaitu; sistem budaya adalah gagasan dan pikiran dan pikiran yang terdapat dala alam pikiran manusia, sebagai totalitas yang saling berkaitan berdasarkan azas-azas yang saling berhubungan menjadi satu sistem yang relatif mantap dan berkelanjutan, sedangkan sistem sosial adalah suatu kompleks kegiatan atau aktivitas manusia yang saling berinteraksi dalam kenyataan sosial yang lebih konkret, dan dalam suatu sistem yang berpola
Pendapat di atas memperjelas bahwa sistem budaya yang dimiliki oleh orang-orang Bugis-Makassar itu adalah suatu gagasan dan pikiran orang-orang terdahulu yang diajarkan secara turun temurun dan terus menerus diterapkan pada generasi muda dengan suatu sistem yang relatif mantap, dan akan menghasilkan konsep-konsep tentang nilai-nilai budaya yang sangat dijunjung tinggi. Sistem nilai-nilai budaya yang berkaitan dengan konsep-konsep atau ide-ide yang hidup di dalam pikiran sebagian besar warga Bugis-Makassar mengenai apa yang dianggap bernilai, berharga serta penting dalam kehidupan mereka. Sistem ini biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi yang memberi arah dan orientasi bagi masyarakat Bugis- Makassar.
Sistem nilai budaya Bugis-Makassar Berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi tingkah laku manusia, maka sistem-sistem tata kelakuan manusia lain yang tingkahnya lebih kongkrit, seperti aturan khusus, hukum dan norma, semuanya berpedoman pada sistem nilai budaya tersebut. Walaupu pada dasarnya sistem nilai budaya atau adat tersebut pada posisi sentral sekalipun dn paling dalam dari kerangka suatu kebudayaan yang sifatnya abstrak, dan hanya dapat diungkap melalui pengamatan pada gejala yang ada. Nilai–nilai budaya masyarakat Bugis-Makassar mengambil pesan (Mappaseng) Bugis (Pappasang) Makassar, sebagai nilai-nilai budaya yang dijadikan pegangan dalam kehidupan masyarakatnya, Menurut Enre (1991: 3) adalah
Nilai-nilai kebudayaan adalah appasitinaja (kewajaran), lempu sibawa adatongeng (kejujuran dan perkataan yang benar), gettang (keteguhan pendirian), sirik lare ya esse babua passe (Harga diri atau belas kasih dan rasa perih), awaraningeng (Keberanian), toto iare ya were (takdir atau nasib)
Hal tersebut di atas dipilih sebagai nilai utama dalam budaya Bugis-Makassar bahwa manusia Bugis-Makassar yang ideal apabila memiliki, sifat, pandangan, dan perilaku tersebut. Sedangkan menurut Rahim (1992:100) menyatakan nilai utama budaya Bugis-Makassar ada enam yaitu: Kejujuran (alempureng), kecendikiaan (amaccang), kepatutan (asitinajang), keteguhan (agettengeng), dan usaha (reso) serta sirik (harga diri).
Sistem nilai tersebut tidak dapat dipisahkan yang mutlak dalam memandang kehidupan yang tidak bisa dibatasi oleh benda semata-mata, melainkan masuk ke dalam lingkungan kerohanian manusia Bugis-Makassar samapi sifat yang saklar suatu nilai tampak lebih jelas pada nilai-nilai tradisional yang berupa adat. Dan adat merupakan landasan hukum dalam bertindak sehari-hari bagi orang Bugis-Makassar. Adat sebagai landasan hukum bagi orang Bugis-Makassar dinyatakan oleh Abidin (1983;122) yaitu:
Rumusan yang tertuang untuk hukum yaitu, ade’ (Bugis) atau ada’ (Makassar dan Mandar) yang ditemukan berasal dari Latenribali, raja Cinotabi, yang kemudian menjadi Batara Wajo’ pertama (1436-1456) yang berbunyi: ”Adapun yang harus dibuat ”ade” ialah aturan yang bersih, jernih dan berkilauan, dan berlaku luas dengan baik dan kita sama jalani (taati) dan suruh taati serta kita persaksikan kepada Dewata Yang Esa”
Manusia Bugis-Makassar dalam menegakkan hukum adat yang tetap kokoh dalam membentengi kehidupan dan hampir setiap saat masih sering dipermasalahkan adalah masalah ”sirik” atau harga diri. Manusia Bugis-Makassar dalam usahanya untuk menegakkan ”Sirik” atau harga diri atau martabat keluarga sama sekali tidak memikirkan besarnya resiko sebagai akibat dari perwujudan tindakan yang dilaksanakannya itu. Setelah tugas menegakkan siri terlaksana, barulah diketahui akibat atau resikonya. Namun ada ungkapan yang menjaga sirik dengan adanya adat yaitu: Utettongi ri ade’e najagainnami sirikku. Artinya saya taat kepada adat, karena dijaganya sirikku.
Menurut Mattulada dalam (Abdullah, 1985: 62) menyatakan konsep sirik yang terdapat dalam dunia adat dikalangan masyarakat Bugis-Makassar, terdapat lagi sebuah konsep lain yang disebut pacce atau passe. Konsep sirik yang merupakan pandangan hidup dari manusia Bugis-Makassar, adalah jiwa dan semangat bagi setiap individu di masyarakat. Konsep sirik itu dilestarikan ke dalam nilai-nilai kebudayaan keluarga, baik Bugis maupun Makassar. Sekalipun mereka itu berada dalam lingkungan kebudayaan yang berbeda-beda. Dari konsep sirik na pacce inilah kemudian melahirkan budaya sipakatau. Karena budaya sipakatu dalam kehidupan masyarakt Bugis-Makassar dijabarkan ke dalam konsepsi Sirik na pacce. Dengan menegakkan sirik na pacce berarti sesorang telah menerapkan sistem nilai budaya sipakatau dalam kehidupan pergaulan kemasyarakatan.