Nasehat imam Asy-Syafi'i rahimahullahu kepada para penuntut Ilmu itu secara garis besar ada enam (6). Nasehat-nasehat ini ditulis dalam kitab Diwan Al-Imam Asy-Syafi'i. Beliau rahimahullahu berkata, "Saudaraku, tidak akan memperoleh ilmu kecuali dengan enam perkara yang akan saya beritahukan perinciannya: (1) kecerdasan, (2) semangat, (3) sungguh-sungguh, (4) berkecukupan, (5) bersahabat (belajar) dengan ustadz, (6) membutuhkan waktu yang lama."
1. Kecerdasan
Kecerdasan merupakan potensi manusia sejak dilahirkan. Setiap orang telah diberikan kecerdasan oleh Allah, sehingga dengan kecerdasan itu manusia dapat dengan mudah menerima pengetahuan yang ada di alam semesta ini. Walau sudah merupakan bawaan lahir tetapi perlu juga untuk diolah agar dapat meningkat lebih dari yang telah ada. Kecerdasan yang dimaksud bukan saja tetang kecerdasan otak, tetapi juga kecerdasan sikap dan spiritual. Ketiga komponen ini harus berjalan beriringan, jika satu saja kurang maka akan menjadi cacat.
Ada sebagian teori barat mengingkan agar ilmu itu bebas nilai atau berdiri sendiri tanpa ada kontrol dari nilai-nilai yang ada. Alhasil banyak perkembangan ilmu pengetahuan bukan untuk kemaslahatan manusia, tetapi digunakan untuk menghancurkan sebagian peradaban manusia untuk kepentingan tertentu.
Paradigma Value Free atau ilmu bebas nilai sudah ada sejak awal abad ke 20, dimana manusia mulai mempertanyakan hakekat ilmu dengan mengesampingkan hakekat moral. Segala sesuatu mulai diukur dengan materi sehingga hakekat Ilmu pengetahuan yang diperuntukkan dalam mengelola alam semseta ini mulai rapuh. Pada akhirnya nilai-nilai agama dan moral tidak lagi digunakan untuk mengntrol ilmu pengetahuan yang dikembangkan. Dengan berbagai macam dalih, ilmu pengetahuan kemudian digunakan untuk mengeksploitasi alam sebesar-besarnya demi mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Hal ini telah diperingatkan Allah di dalam Al-Quran surat Ar-Rum ayat 41 bahwa "telah nampak kerusakan di laut dan di darat disebabkan karena perbuatan tangan manusia."
Apa yang harus diperbuat oleh penuntut ilmu dengan kecerdasannya? Yang perlu dilakukan adalah menggunakan kecerdasan itu sesuai dengan kadar yang telah ditentukan, jangan juga berlebihan. Maksudnya adalah bahwa menimba ilmu itu sebanyak-banyaknya dengan menyaring agar ilmu yang bermanfaat saja yang diterima, kemudian ilmu pengetahuan itu harus dikontrol dengan moral, sehingga tidak terjadi penyalahgunaan ilmu dan pengetahuan.
2. Semangat dalam Menuntut Ilmu
Semangat merupakan bekal bagi seorang dalam menuntut ilmu. Jika dia sudah tahu bahwa ilmu itu memiliki manfaat yang sangat besar, maka dia akan mengerahkan semua daya dan upaya untuk menuntut ilmu. Semangat memiliki fungsi untuk menggerak seseorang dalam bertindak, dalam hal ini bertindak untuk menuntuk ilmu sebanyak-banyak.
Dalam menuntut ilmu, semangat tidak boleh kendor. Seorang penuntut ilmu harus memiliki semngat yang keras untuk terus membaca, menelaah, meneliti, mempraktekkan, dan membangun forum-forum ilmiah dengan teman sejawat atau dengan para guru yang memiliki ilmu yang tinggi.
3. Bersungguh-sungguh dalam Menuntu Ilmu
Bersungguh-sungguh adalah berusaha dengan segenap jiwa dan raga, yaitu berusahan dengan sekuat-kuatnya sehingga apa yang diinginkan bisa tercapai. Ada sebuah syair arab yang mengatakan bahwa "siapa yang bersungguh-sungguh maka dapatlah ia." Begitu pula dengan menuntut ilmu, seorang penuntut ilmu jika dia bersungguh-sungguh dalam belajar maka dia akan menjadi orang yang cerdas.
Penuntut Ilmu harus menghindari sifat malas, bosan dan cepat merasa lelah serta menghindari hawa nafsu setan yang senantiasa mengikuti dan menggoda dirinya untuk berhenti dalam menuntut ilmu. Banyak hal yang dapat menstimulus seseorang untuk giat dan tekun dalam belajar yaitu dengan membaca biorgrafi para ilmuan-ilmuan terdahulu yang dengan gigih dan tabah dalam menanggung segala penderitaan yang mereka alami serta kisah perjalanan mereka yang menuntut ilmu di berbagai tempat.
4. Memiliki Bekal Untuk Menuntut Ilmu
Pergi mengembara keluar dari kampung halaman untuk belajar merupakan jihad fi sabilillah, yaitu berada di jalan Allah. Dengan demikian maka mengorbankan harta untuk bekal menuntut ilmu merupakan salah satu amaliah di jalan Allah. Para ulama terdahulu seperti imam Malik bin Anas menjual kayu atap rumahnya untuk bisa menuntut ilmu, bahkan ada ulama yang menjual harta warisannya seperti syekh Al-Hamadzan Al-Atthar, untuk membiaya pendidikannya.
Biaya pendidikan saat ini bukan saja untuk membayar uang sekolah, uang semester, tetapi juga untuk membiayai hidup selama berada di perantauan. Banyak pengalaman yang bisa kita ambil pelajaran dari penuntut ilmu yang gigih. Ada sebagian yang kekurangan harta bekerja serabutan, menjual kue, dan mengambil pekerjaan paruh waktu lainnya yang halal demi mendapatkan uang. Uang itu dibagi pula, sedikit untuk biaya hidup dan sebagian besar untuk membayar kebutuhan pendidikan. Apapun pekerjaan halal yang dilakukan demi mengejar cita-cita yang diimpikan.
5. Bersahabat dengan Guru
Fenomena saat ini yang terjadi adalah telah lahir para ulama atau ilmuan-ilmuan model baru hasil didikan internet. Belajar dengan media internet itu sah-sah saja, tidak ada salahnya, tetapi yang patut diingat bahwa, informasi yang ada di dunia maya ini tidak semuanya benar, sehingga perlu penyaringan yang sangat ketat hingga bisa masuk ke dalam otak. Kalau tidak hal yang salah akan dianggap sebagai kebenaran.
Belajar yang baik adalah langsung dengan ahlinya, sehingga ilmu itu dapat dijelaskan dengan baik. Jadikan buku dan media lain seperti internet sebagai pendukung dalam menuntut ilmu. Selain itu belajar kepada orang alim itu bukan saja mendapatkan pembelajaran, tetapi juga mendapatkan pendidikan adab, akhlak dan wara'.
6. Membutuhkan Waktu yang Lama
Sebelum teori Long Life Education (pendidikan seumur hidup) lahir, dunia Islam sudah mengenalnya berabad-abad lamanya, bahwa ada ungkapan (ada yang menyebutnya hadis) yang menyatakan bahwa "menuntut ilmu itu dari buayaan ibu sampai ke liang lahat."
Menuntut ilmu itu membutuhkan waktu yang lama, bukan satu atau dua hari saja seseorang sudah dapat menguasai suatu ilmu. Belajar yang diprogramkan di Indonesia misalnya, dimulai dari pendidikan TK, kemudian Sekolah Dasar (SD) enam tahun, SMP tiga tahun lalu SMA tiga tahun. Sedangkan untuk pendidikan di pesantren selama 6 tahuan jika dimulai dari tsanawiyah. Setelah itu pendidikan sarjana di perguruan tinggi selama tiga sampai empat tahun, pendidikan pasca sarjana untuk magister dua atau empat tahun, dan pendidikan doktor selama tiga tahun.
Ilmu tidak datang secepat kilatan cahaya yang langsung dipahami secara keseluruhan oleh seseorang, butuh kajian yang mendalam, bahkan semakin dikaji maka akan semakin dalam lagi ilmu tersebut. Lalu berapa lamakah kita akan belajar? Jawabnnya adalah sepanjang hayat masih dikandung badan. Wallahu a'lam.
1. Kecerdasan
Kecerdasan merupakan potensi manusia sejak dilahirkan. Setiap orang telah diberikan kecerdasan oleh Allah, sehingga dengan kecerdasan itu manusia dapat dengan mudah menerima pengetahuan yang ada di alam semesta ini. Walau sudah merupakan bawaan lahir tetapi perlu juga untuk diolah agar dapat meningkat lebih dari yang telah ada. Kecerdasan yang dimaksud bukan saja tetang kecerdasan otak, tetapi juga kecerdasan sikap dan spiritual. Ketiga komponen ini harus berjalan beriringan, jika satu saja kurang maka akan menjadi cacat.
Ada sebagian teori barat mengingkan agar ilmu itu bebas nilai atau berdiri sendiri tanpa ada kontrol dari nilai-nilai yang ada. Alhasil banyak perkembangan ilmu pengetahuan bukan untuk kemaslahatan manusia, tetapi digunakan untuk menghancurkan sebagian peradaban manusia untuk kepentingan tertentu.
Paradigma Value Free atau ilmu bebas nilai sudah ada sejak awal abad ke 20, dimana manusia mulai mempertanyakan hakekat ilmu dengan mengesampingkan hakekat moral. Segala sesuatu mulai diukur dengan materi sehingga hakekat Ilmu pengetahuan yang diperuntukkan dalam mengelola alam semseta ini mulai rapuh. Pada akhirnya nilai-nilai agama dan moral tidak lagi digunakan untuk mengntrol ilmu pengetahuan yang dikembangkan. Dengan berbagai macam dalih, ilmu pengetahuan kemudian digunakan untuk mengeksploitasi alam sebesar-besarnya demi mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Hal ini telah diperingatkan Allah di dalam Al-Quran surat Ar-Rum ayat 41 bahwa "telah nampak kerusakan di laut dan di darat disebabkan karena perbuatan tangan manusia."
Apa yang harus diperbuat oleh penuntut ilmu dengan kecerdasannya? Yang perlu dilakukan adalah menggunakan kecerdasan itu sesuai dengan kadar yang telah ditentukan, jangan juga berlebihan. Maksudnya adalah bahwa menimba ilmu itu sebanyak-banyaknya dengan menyaring agar ilmu yang bermanfaat saja yang diterima, kemudian ilmu pengetahuan itu harus dikontrol dengan moral, sehingga tidak terjadi penyalahgunaan ilmu dan pengetahuan.
2. Semangat dalam Menuntut Ilmu
Semangat merupakan bekal bagi seorang dalam menuntut ilmu. Jika dia sudah tahu bahwa ilmu itu memiliki manfaat yang sangat besar, maka dia akan mengerahkan semua daya dan upaya untuk menuntut ilmu. Semangat memiliki fungsi untuk menggerak seseorang dalam bertindak, dalam hal ini bertindak untuk menuntuk ilmu sebanyak-banyak.
Dalam menuntut ilmu, semangat tidak boleh kendor. Seorang penuntut ilmu harus memiliki semngat yang keras untuk terus membaca, menelaah, meneliti, mempraktekkan, dan membangun forum-forum ilmiah dengan teman sejawat atau dengan para guru yang memiliki ilmu yang tinggi.
3. Bersungguh-sungguh dalam Menuntu Ilmu
Bersungguh-sungguh adalah berusaha dengan segenap jiwa dan raga, yaitu berusahan dengan sekuat-kuatnya sehingga apa yang diinginkan bisa tercapai. Ada sebuah syair arab yang mengatakan bahwa "siapa yang bersungguh-sungguh maka dapatlah ia." Begitu pula dengan menuntut ilmu, seorang penuntut ilmu jika dia bersungguh-sungguh dalam belajar maka dia akan menjadi orang yang cerdas.
Penuntut Ilmu harus menghindari sifat malas, bosan dan cepat merasa lelah serta menghindari hawa nafsu setan yang senantiasa mengikuti dan menggoda dirinya untuk berhenti dalam menuntut ilmu. Banyak hal yang dapat menstimulus seseorang untuk giat dan tekun dalam belajar yaitu dengan membaca biorgrafi para ilmuan-ilmuan terdahulu yang dengan gigih dan tabah dalam menanggung segala penderitaan yang mereka alami serta kisah perjalanan mereka yang menuntut ilmu di berbagai tempat.
4. Memiliki Bekal Untuk Menuntut Ilmu
Pergi mengembara keluar dari kampung halaman untuk belajar merupakan jihad fi sabilillah, yaitu berada di jalan Allah. Dengan demikian maka mengorbankan harta untuk bekal menuntut ilmu merupakan salah satu amaliah di jalan Allah. Para ulama terdahulu seperti imam Malik bin Anas menjual kayu atap rumahnya untuk bisa menuntut ilmu, bahkan ada ulama yang menjual harta warisannya seperti syekh Al-Hamadzan Al-Atthar, untuk membiaya pendidikannya.
Biaya pendidikan saat ini bukan saja untuk membayar uang sekolah, uang semester, tetapi juga untuk membiayai hidup selama berada di perantauan. Banyak pengalaman yang bisa kita ambil pelajaran dari penuntut ilmu yang gigih. Ada sebagian yang kekurangan harta bekerja serabutan, menjual kue, dan mengambil pekerjaan paruh waktu lainnya yang halal demi mendapatkan uang. Uang itu dibagi pula, sedikit untuk biaya hidup dan sebagian besar untuk membayar kebutuhan pendidikan. Apapun pekerjaan halal yang dilakukan demi mengejar cita-cita yang diimpikan.
5. Bersahabat dengan Guru
Fenomena saat ini yang terjadi adalah telah lahir para ulama atau ilmuan-ilmuan model baru hasil didikan internet. Belajar dengan media internet itu sah-sah saja, tidak ada salahnya, tetapi yang patut diingat bahwa, informasi yang ada di dunia maya ini tidak semuanya benar, sehingga perlu penyaringan yang sangat ketat hingga bisa masuk ke dalam otak. Kalau tidak hal yang salah akan dianggap sebagai kebenaran.
Belajar yang baik adalah langsung dengan ahlinya, sehingga ilmu itu dapat dijelaskan dengan baik. Jadikan buku dan media lain seperti internet sebagai pendukung dalam menuntut ilmu. Selain itu belajar kepada orang alim itu bukan saja mendapatkan pembelajaran, tetapi juga mendapatkan pendidikan adab, akhlak dan wara'.
6. Membutuhkan Waktu yang Lama
Sebelum teori Long Life Education (pendidikan seumur hidup) lahir, dunia Islam sudah mengenalnya berabad-abad lamanya, bahwa ada ungkapan (ada yang menyebutnya hadis) yang menyatakan bahwa "menuntut ilmu itu dari buayaan ibu sampai ke liang lahat."
Menuntut ilmu itu membutuhkan waktu yang lama, bukan satu atau dua hari saja seseorang sudah dapat menguasai suatu ilmu. Belajar yang diprogramkan di Indonesia misalnya, dimulai dari pendidikan TK, kemudian Sekolah Dasar (SD) enam tahun, SMP tiga tahun lalu SMA tiga tahun. Sedangkan untuk pendidikan di pesantren selama 6 tahuan jika dimulai dari tsanawiyah. Setelah itu pendidikan sarjana di perguruan tinggi selama tiga sampai empat tahun, pendidikan pasca sarjana untuk magister dua atau empat tahun, dan pendidikan doktor selama tiga tahun.
Ilmu tidak datang secepat kilatan cahaya yang langsung dipahami secara keseluruhan oleh seseorang, butuh kajian yang mendalam, bahkan semakin dikaji maka akan semakin dalam lagi ilmu tersebut. Lalu berapa lamakah kita akan belajar? Jawabnnya adalah sepanjang hayat masih dikandung badan. Wallahu a'lam.