Persoalan Politik Sebagai Awal Mula Perpecahan dalam Islam

Persoalan Politik Sebagai Awal Mula Perpecahan dalam Islam
Sedikit aneh memang ketika dikatakan bahwa persoalan politik sebagai awal mula perpecahan dalam Islam. Kenyataan yang terjadi memang seperti itu bahwa persoalan yang pertama muncul dalam umat Islam yaitu di bidang politik bukan bidang teologi. Akan tetapi dari persoalan politik inilah kemudian berkembang menjadi persoalan teologi.

Pada awal perkembangan Islam yaitu ketika Nabi Muhammad saw. menerima wahyu dan menyebarkannya kepada masyarakat Quraisy yang kebanyakan pedagang dan memegang kekuasaan di Kota Mekah ini tidak begitu baik menerimanya. Mekah yang waktu itu merupakan jalur dagang Timur - Barat sangat menguntungkan bagi penduduknya. Para pedagangnya pergi membeli barang-barang di selatan kemudian mereka bawa ke utara untuk dijual di syria. Selain itu kota mekah juga menjadi kota transit bagi pedagang yang melakukan perjalanan, sehingga kota mekah berubah menjadi kota kaya.

Penyebaran agama Islam yang dilakukan oleh Rasulullah mendapatkan perlawan yang sangat kuat dari masyarakat Quraisy, termasuk berasal dari keluarga Nabi sendiri seperti pamannya Abu Lahab. Mereka tidak ingin kepentingan kekuasaannya terlepas dan mengira bahwa Nabi Muhammad saw. menyebarkan agama Islam hanya demi kepentingan pribadi untuk berkuasa. Perlawanan yang dilakukan bukan main-main, banyak diantara umat Islam disiksa dengan berbagai macam cara, sehingga pada akhirnya Rasulullah bersama pengikut-pengikutnya memilih pindah ke Yastrib pada tahun 622 M. Sebagaimana telah diketahui bahwa nabi Muhammad saw. bukanlah termasuk golongan yang kaya raya, bahkan beliau termasuk golongan keadaan ekonominya lemah, sehingga di saat masih kecil beliau mengembala domba.

Kota Yastrib merupakan kota petani, berbeda dengan kota mekah yang merupakan kota perdagangan. Masyarakat yang adalah di dalamnya tidak homogen, akan tetapi hanya terdiri atas bangsa arab dan bangsa Yahudi. Bangsa arab yang ada di kota ini terdiri dari dua suku yaitu al-Khazraj dan al-A'us. Kedua suku ini selalu terjadi pertentangan dalam dan persaingingan yang sangat kuat untuk menjadi pemimpin. Keadaan ini yang menyebabkan kota Yastrib tidak aman sehingga mereka menginginkan adanya seorang penengah (hakam) atau perantara yang netral.

Suatu ketika pemuka-pemuka kedua suku ini pergi ke mekah untuk menunaikan ibadah haji, mereka mendengar dan mengetahui kedudukan nabi Muhammad dan dalam satu pertemuan mereka meminta untuk nabi pindah dan tinggal di kota Yastrib. Melihat begitu banyaknya pertentang yang berasal dari para pedagang mekah, maka nabipun menyetujui permintaan dari para pemuka suku al-Khazraj dan al-A'us ini. Beliau beserta pengikut-pengikutnya yang tinggal di mekah akhirnya hijrah ke Yastrib. Kota ini kemudian setelah nabi datang dan menetap, beliau mengganti namanya menjadi kota Madinah al-Nabi atau Madinah al-Munawwarah. Beliau kemudian menjadi perantara diantara kedua suku bangsa yang selalu bertentangan dan berselisih itu, lambat laun beliau menjadi pemimpin di kota Madinah, terlebih ketika Mayoritas masyarakat Madinah memeluk agama Islam, kecuali penduduk Yahudi.

Dari ulasan sejarah singkat nabi Muhammad ini dapat disimpulkan bahwa, selama berada di mekah Nabi Muhammada hanya memiliki peran sebagai kepada agama, tetapi ketika berada di kota Madinah selain sebagai kepala agama beliau juga sebagai kepala pemerintahan. Beliaulah yang mendirikan kekuasaan politik yang dipatuhi di kota ini yang sebelum itu kota Madinah tidak ada kekuasaan politik.

Persoalan Politik Sebagai Awal Mula Perpecahan dalam Islam

Selama berada di Madinah, nabi Muhammad beserta sahabat-sahabatnya melakukan dakwah menyebarkan agama Islam hingga beliau wafat pada tahun 632 M. Wilayah kekuasaan Madinah tidak hanya sebatas kota itu saja tetapi seluruh semenanjung Arabia. Negara Islam di waktu itu merupakan kumpulan suku-suku bangsa arab yang menyatu dengan mengikat tali persekutuan dengan Nabi Muhammad dalam berbagai aspek, dengan masyarakat Madinah dan Masyarakat Mekah.

Islam selain sebagai agama juga sebagai sistem politik dan Nabi Muhammad disamping sebagai seorang Rasul utusan Allah juga sebagai seorang ahli dalam bidang politik dan negara. Sehingga tidak mengherankan ketika Nabi wafat Masyarakat madinah menomorduakan pemakaman beliau dan lebih memikirkan siapa penggantinya sebagai kepala Negara, disinilah terjadi khilafah yaitu perbedaan pendapat tentang siapakah orang yang layak itu. Untuk fungsinya sebagai Nabi dan Rasul sudah barang tentu tidak ada yang bisa menggantikannya.

Sejarah mencatat bahwa yang menggantikan Rasulullah dalam mengepalai negera yang baru berdiri itu adalah Abu Bakar yang disetujui oleh mayoritas masyarakat Islam waktu itu. Kemudian setelah Abu Bakar wafat, beliau digantikan oleh Umar Ibn al-Khattab setelah itu Usman Ibn 'Affan.

Usman termasuk dalam golongan pedagang Quraisy yang kaya. Keluarganya merupakan orang-oran aristokrat yang dengan pengalaman perdagangannya, mereka memiliki pengetahuan dalam hal administrasi sehingga dapat bermanfaat dalam membuat sistem administrasi terhadap daerah-daerah yang di luar semenanjung arabia yang pada waktu itu bertambah banyak masuk di bawah kekuasaan Islam.

Ahli sejarah mencatat bahwa Usman ini merupakan orang yang lemah dalam kepemimpinannya, beliau tidak mampu membendung ambisi keluarganya yang kaya dan berpengaruh itu. Ia kemudian mengangkat mereka menjadi gubernur di wilayah-wilayah yang masuk dalam kekuasaan Islam. Gubernur-gubernur awal yang diangkat oleh Umar Ibn al-Khattab dijatuhkannya. Khalifah Umar dikenal sebagai sosok yang kuat dan tidak mementingkan kepentingan keluarganya, tetapi mementingkan kepentingan umat.

Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh khalifah Usman ini mendapatkan reaksi yang tidak menguntungkan bagi dirinya. Sahabat-sahabat Nabi yang pada awalnya mendukung kepemimpinan Umar ketika melihat tindakah yang kurang tepat itu, kemudian berbalik arah meninggalkannya. Mereka yang awalnya ingin menjadi khalifat atau ingin calonnya menjadi khalifah mulai kelihatan bermain di air keruh yang timbul waktu itu. Daerah-daerah mulai menunjukkan perasaan tidak senang. Di mesir pergantian Gubernur Amr Ibn al-Ash oleh Abdullah Ibn Sa'ad Ibn Abi Sarh salah seorang kaum keluarga usman, menyebabkan 500 pemberontak berkumpul dan bergerak menuju ke Madina. Gejolak yang terjadi di Madih semakin memanas hingga terbununnya Khalifa Usman oleh pemuka-pemuka pemberontak dari Mesir ini.

Setelah Usman wafat, Ali merupakan satu-satunya calon terkuat sebagai sebagai penggantinya. Ali Ibn Abi Thalib kemudian terpilih sebagai khalifah keempat, tetapi mendapat banyak tantangan dari pemuka-pemuka yang ingin juga menjadi khalifah. Dalam hal ini yang paling getol melakukan pertentangan adalah Talhah dan Zubair dari Mekah yang pada saat itu mendapat sokongan dari Aisyah. Namu pertentangan kedunya dapat dipatahkan oleh Ali dalam peperangan yang terjadi di Irak pada tahun 656 M. Talhah dan Zubair mati terbunuh kemudian Aisyah dikirim kembali ke Mekah.

Setelah itu tangan kedua datang dari Gubernur Damaskus, Muawiyah dan keluarga dekat Usman. Muawiyah juga tidak mau mengakui Ali sebagai khalifah, ia menuntut agar pembunuh-pembunuh Usman agar mendapat hukuman, bahkan ia menuduh bahwa Ali juga ikut campur dalam soal pembunuhan itu. Salah seorang pemberantak-pemberontak yang berasal dari mesir itu merupakan anak angkat dari Ali Ibn Abi Thalib, yaitu Muhammad Ibn Abi Bakr. Ali tidak mengambil tindakan keras terhadap anak angkatnya ini, bahkan Muhammad Ibn Abi Bakr diangkat menjadi gubernur di Mesir.

Dari pertengtangan yang dilakukan oleh Muawiyah, maka terjadilah perang di Siffin, tentara Ali kemudian dapat mendesak tentara Muawiyah, sehingga mereka sudah bersiap-siap untuk lari, namun Amar Ibn Ash orang yang terkenal licik, merupakan tangan kanan Muawiyah ini meminta berdamai dengan mengangkat Al-Quran ke atas. Qurra yang yang ada di pihak Ali meminta agar Ali berdamai dan dicarilah jalan keluar dengan damai, sehingga diadakanlah arbirase. Dalam arbitrase ini sebagai pengantara diangkatlah dua orang perwakilan dari kedua belah pihak yaitu Amr Ibn Ash dari pihak muawiyah dan Abu Musa Al-Asy'ari dari pihak Ali.

Dalam pertemuan kedua perwakilan tersebut terdapat pemufakatan untuk menjatuhkan kedua pemuka yang bertentangan tersebut. Dalam tradisi orang Arab biasanya yang lebih tua yang akan lebih dulu mengumumkan, sehingga Abu Musa Al-Asy'ari sebagai orang yang lebih tua lebih dulu mengumumkan kepada semua orang penjatuhan kedua pemuka tersebut. Namun hal ini berbeda dengan apa yang diumumkan oleh Amr Ibn Ash setelahnya, ia mengumumkan bahwa menyetujui penjatuhan Ali yang telah diumumkan oleh Al-Asy'ari, dan menolak penjatuhan Muawiyah.

Peristiwa ini telah merugikan Ali yang kapasitasnya sebagai khalifah yang sah dan menguntungkan bagi Muawiyah yang kedudukannya hanya sebagai gubernur daerah yang tidak mau tunduk kepada khalifah. Dengan adanya Arbitrase ini kedudukan Muawiyah naik menjadi khalifah yang tidak resmi, sehingga tidak mengeherankan jika Ali tetap mempertahankan kekhalifahannya dan tidak mau menyerahkan hingga ia mati terbunuh pada tahun 661 M.

Peristiwa arbitrase sebenarnya tidak disetujui oleh sebagi tentara Ali, mereka berpendapat bahwa semua keputusan hanya datang dari Allah dengan kembali kepada hukum-hukum yang ada di dalam Al-Quran. Semboyan mereka La hukma Ila lillah atau la hakama Illa Allah. Mereka kemudian memandang bahwa apa yang dilakukan oleh Ali sudah salah kemudian keluar dari barisan Ali. Golongan yang keluar inilah yang kemudian dalam Islam dikenal dengan golongan al-Khawarij, yaitu orang yang keluar dan memisahkan diri atau seceders.

Dengan adanya pandangan kaum khawarij yang memandang salah terhadap khalifah Ali, maka mereka melakukan perlawanan untuk menentang Ali. Saat itu Ali memiliki dua musuh yang dihadapinya dan melakukan penyerangan. Karena mendapat penyerangan dari dua musuh secara bersamaan, maka Ali lebih memilih terlebih dahulu memusatkan perhatian untuk menghadapi kaum khawarij. Setelah kaum khawarij hancur Ali bersama pasukannya sudah terlalu capai untuk meneruskan pertempuran dalam menghadapi Muawiyah yang tetap berkuasa di Damaskus. Setelah Ali Ibn Abi Thalib wafat dalam peristiwa pembunuhan yang dilakukan oleh seorang yang berasal dari golongan Khawarij yang bernama Abdurrahman bin Muljam pada tanggal 26 Januari 661 di Masjid Agung Kufah. Muawiyah dengan mudah mendapatkan pengakuan sebagai khalifah Umat Islam pada tahun 661 M.

Persoalan-persoalan politik dalam Islam yang digambarkan di atas inilah yang kemudian membawa umat Islam kepada timbulnya persoalan-persoalan baru yaitu teologi. Dalam persoalan awal adalah persoalan siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir dalam artian siapa yang sudah keluar dari Islam dan siapa yang masih tetap dalam Islam. Dari persoalan awal inilah kemudian lahir kaum khawarij yang kemudian terbagi menjadi beberapa golongan, setelah itu muncul aliran Murjia'ah, Qadariah dan Jabariah, Mu'tazilah, dan Ahlu Sunnah Wa Al-Jama'ah.

Jufri Derwotubun

Saya hanyalah seorang pengembara yang suka berpetualangan, menulis, dan membaca alam semesta.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama