Indonesia merupakan bangsa yang multi etnis. Beragam suku bangsa hidup berdampingan menjadi satu kesatuan dalam bingkai Negara kesatuan Republik Indonesia. Budaya lokal suatu daerah adalah sebuah penopang lahirnya kebudayaan nasional. Indonesia adalah satu Negara yang memiliki banyak kebudayaan nasional dan kesemuanya itu tidak akan ada jika budaya lokal tidak lahir.
Suatu daerah akan dikenal oleh daerah lain karena budayanya, budaya yang membesarkannya dalam memaknai setiap kehidupan. Dari sekian budaya lokal yang ada di Indonesia seperti kebudayaan yang ada di Jawa, Sumatra, Kalimantan dan lain-lain, masing-masing memiliki ciri khas sendiri.
Pada kesempatan ini saya ingin menulis sebuah budaya pada masyarakat yang berada di Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) khususnya kabupaten Bima yaitu budaya Rimpu yang merupakan sebuah tradisi yang diwariskan oleh kebudayaan islam pada masyarakat Bima.
Budaya rimpu muncul setelah Islam masuk dan berkembang di Bima, pada awal berdirinya Kesultanan Bima. Pada tanggal 15 Rabiul Awal 1050 H atau 5 juli 1640, dimana dengan berdirinya Kesultanan Bima tersebut merupakan momentum bagi perkembangan Islam di Bima. Hanya saja Rimpu sebagai busana tradisional belum terlalu banyak yang mengenakannya sebagai pakaian sehari-hari.
Rimpu adalah suatu tradisi lokal masyarakat di Bima dalam menutupi auratnya dengan menggunakan tembe yang dalam bahasa Indonesia artinya sarung. Rimpu itu sendiri merupakan suatu budaya yang diwariskan secara turun temurun dikalangan masyarakat Bima. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, budaya ini mulai tak terlihat. Entah kenapa, mungkin karena generasi muda sudah tidak peduli akan hal-hal yang dianggap sudah ketinggalan zaman atau factor lain yang menyebabkan hal itu bisa terjadi. Itu masih menjadi sebuah tanda tanya besar bagi saya sendiri khususnya dan semua masyarakat Bima, terutama generasi muda yang masih memiliki kepedulian terhadap rimpu itu sendiri pada umumnya.
Sebelum masyarakat Bima menggunakan rimpu dalam menutup aurat atau sebelum Islam masuk di Bima, masyarakatnya sudah menganut beberapa Agama lokal (ada yang menyebutnya agama adat), yang oleh masyarakat Bima dikenal dengan istilah makamba (dinamisme). Makambe berarti percaya kepada benda-benda yang memiliki kekuatan gaib, dan berpengaruh terhadap kehidupan sehari-hari. Kepercayaan lain yaitu makimbi (animisme), yang berarti masyarakat percaya kepada roh gaib. Selain kedua kepercayaan lokal itu, sebagian masyarakat bima sudah menganut agama Hindu (politeisme) yaitu agama yang percaya kepada banyak dewa (Ismail, 2008: 35).
Rimpu adalah cara berbusana masyarakat Bima yang menggunakan sarung khas Bima. Rimpu merupakan rangkaian pakaian yang menggunakan dua ndo'o tembe (dua lembar sarung). Kedua sarung itu dipakai pada bagian bawah mulai dari pinggang sampai kaki dan bagian atas yaitu menutupi bagian kepala menjulur ke dada. Rimpu ini adalah pakaian yang diperuntukkan untuk kaum perempuan, sedangkan kaum laki-laki tidak memakai rimpu tetapi "katente tembe" (menggulungkan sarung di pinggang). Seperti yang diungkapkan oleh N. Marewo dalam Yusuf (2005: 17) memaparkan tentang keadaan laki-laki dan perempuan Bima sebagai berikut:
Wanita Bima umumnya mengenal budaya Rimpu, yaitu budaya yang menutup kepala dan wajahnya (kecuali mata) dengan sarung (tembe nggoli). Demikian pula laki-lakinya, mereka bersarung (katente tembe). Sarung nggoli yang dipakai adalah hasil tenunannya sendiri.
Budaya rimpu diciptakan dan mulai dikenal di wilayah Bima pada masa pemerintahan Sultan Abdul Kahir yang oleh masyarakat setempat dikenal sebagai Mabata Wadu. Sementara tembe nggoli merupakan salah satu sarung tenunan khas masyarakat Bima yang sudah ada sebelumnya.
Sebagai pakaian lokal Bima (Dou Mbojo), cara menggunakan rimpu ini sangat mudah, yaitu dengan cara melilitkan 2 kain sarung ke seluruh tubuh. Satu sarung untuk bagian kepala menjulur hingga ke perut, menutupi lengan dan telapak tangan dan satunya lagi dililitkan dari perut hingga ke ujung kaki. Pakaian model ini digunakan karena masyarakat Bima menjunjung tinggi nilai Islam, selain itu fungsinya juga untuk melindungi diri atau menjaga diri ketika beraktivitas diluar rumah.
Pada perkembangan selanjutnya, rimpu dibagi menjadi 2 model yaitu sebagai berikut:
1. Rimpu Mpida
Rimpu mpida adalah salah satu jenis rimpu yang digunakan oleh para gadis Bima yang belum berkeluarga. Rimpu model ini sering disebut cadar ala Bima. Dalam kebudayaan masyarakat Bima, wanita yang belum menikah tidak boleh memperlihatkan wajahnya, tapi bukan berarti bahwa aktifitas kesehariannya dibatasi. Pada zama dulu jarang sekali gadis-gadi yang belum menikah bertemu dengan laki-laki, bahkan untuk melihatnya saja susah. Hal karena kebanyakan dari mereka tinggal di atas rumah dan jarang dikenal oleh laki-laki karena selalu menggunakan busana yang disebut rimpu mpida ini.
2. Rimpu colo atau rimpu biasa.
Rimpu jenis colo diperuntukan untuk ibu-ibu atau wanita yang telah menikah. Rimpu model ini pada bagian wajah sudah dibolehkan untuk terbuka atau kelihatan. Saat ini di pasar-pasar tradisional masih bisa ditemui ibu-ibu yang menggunakan rimpu dengan sarung khas dari Bima yang terbuat dari kain katun hasil tenunan sendiri (tenun tangan), dengan warna yang bervariasi, warna yang cerah dan memiliki motif lokal masyarakat Bima.
Keistimewaannya Tembe Nggoli antara lain, hangat, halus dan lembut, tidak mudah kusut, dan warna kain tenunnya tahan (tidak mudah luntur). Saat ini, Tembe Nggoli sudah banyak diproduksi dalam berbagai corak dan motif. Ada yang biasa saja - untuk digunakan sehari-hari, dan ada pula yang istimewa, yaitu hanya digunakan pada acara-acara tertentu.
Suatu daerah akan dikenal oleh daerah lain karena budayanya, budaya yang membesarkannya dalam memaknai setiap kehidupan. Dari sekian budaya lokal yang ada di Indonesia seperti kebudayaan yang ada di Jawa, Sumatra, Kalimantan dan lain-lain, masing-masing memiliki ciri khas sendiri.
Pada kesempatan ini saya ingin menulis sebuah budaya pada masyarakat yang berada di Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) khususnya kabupaten Bima yaitu budaya Rimpu yang merupakan sebuah tradisi yang diwariskan oleh kebudayaan islam pada masyarakat Bima.
Budaya rimpu muncul setelah Islam masuk dan berkembang di Bima, pada awal berdirinya Kesultanan Bima. Pada tanggal 15 Rabiul Awal 1050 H atau 5 juli 1640, dimana dengan berdirinya Kesultanan Bima tersebut merupakan momentum bagi perkembangan Islam di Bima. Hanya saja Rimpu sebagai busana tradisional belum terlalu banyak yang mengenakannya sebagai pakaian sehari-hari.
Rimpu adalah suatu tradisi lokal masyarakat di Bima dalam menutupi auratnya dengan menggunakan tembe yang dalam bahasa Indonesia artinya sarung. Rimpu itu sendiri merupakan suatu budaya yang diwariskan secara turun temurun dikalangan masyarakat Bima. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, budaya ini mulai tak terlihat. Entah kenapa, mungkin karena generasi muda sudah tidak peduli akan hal-hal yang dianggap sudah ketinggalan zaman atau factor lain yang menyebabkan hal itu bisa terjadi. Itu masih menjadi sebuah tanda tanya besar bagi saya sendiri khususnya dan semua masyarakat Bima, terutama generasi muda yang masih memiliki kepedulian terhadap rimpu itu sendiri pada umumnya.
Sebelum masyarakat Bima menggunakan rimpu dalam menutup aurat atau sebelum Islam masuk di Bima, masyarakatnya sudah menganut beberapa Agama lokal (ada yang menyebutnya agama adat), yang oleh masyarakat Bima dikenal dengan istilah makamba (dinamisme). Makambe berarti percaya kepada benda-benda yang memiliki kekuatan gaib, dan berpengaruh terhadap kehidupan sehari-hari. Kepercayaan lain yaitu makimbi (animisme), yang berarti masyarakat percaya kepada roh gaib. Selain kedua kepercayaan lokal itu, sebagian masyarakat bima sudah menganut agama Hindu (politeisme) yaitu agama yang percaya kepada banyak dewa (Ismail, 2008: 35).
Rimpu adalah cara berbusana masyarakat Bima yang menggunakan sarung khas Bima. Rimpu merupakan rangkaian pakaian yang menggunakan dua ndo'o tembe (dua lembar sarung). Kedua sarung itu dipakai pada bagian bawah mulai dari pinggang sampai kaki dan bagian atas yaitu menutupi bagian kepala menjulur ke dada. Rimpu ini adalah pakaian yang diperuntukkan untuk kaum perempuan, sedangkan kaum laki-laki tidak memakai rimpu tetapi "katente tembe" (menggulungkan sarung di pinggang). Seperti yang diungkapkan oleh N. Marewo dalam Yusuf (2005: 17) memaparkan tentang keadaan laki-laki dan perempuan Bima sebagai berikut:
Wanita Bima umumnya mengenal budaya Rimpu, yaitu budaya yang menutup kepala dan wajahnya (kecuali mata) dengan sarung (tembe nggoli). Demikian pula laki-lakinya, mereka bersarung (katente tembe). Sarung nggoli yang dipakai adalah hasil tenunannya sendiri.
Budaya rimpu diciptakan dan mulai dikenal di wilayah Bima pada masa pemerintahan Sultan Abdul Kahir yang oleh masyarakat setempat dikenal sebagai Mabata Wadu. Sementara tembe nggoli merupakan salah satu sarung tenunan khas masyarakat Bima yang sudah ada sebelumnya.
Sebagai pakaian lokal Bima (Dou Mbojo), cara menggunakan rimpu ini sangat mudah, yaitu dengan cara melilitkan 2 kain sarung ke seluruh tubuh. Satu sarung untuk bagian kepala menjulur hingga ke perut, menutupi lengan dan telapak tangan dan satunya lagi dililitkan dari perut hingga ke ujung kaki. Pakaian model ini digunakan karena masyarakat Bima menjunjung tinggi nilai Islam, selain itu fungsinya juga untuk melindungi diri atau menjaga diri ketika beraktivitas diluar rumah.
Pada perkembangan selanjutnya, rimpu dibagi menjadi 2 model yaitu sebagai berikut:
1. Rimpu Mpida
Rimpu mpida adalah salah satu jenis rimpu yang digunakan oleh para gadis Bima yang belum berkeluarga. Rimpu model ini sering disebut cadar ala Bima. Dalam kebudayaan masyarakat Bima, wanita yang belum menikah tidak boleh memperlihatkan wajahnya, tapi bukan berarti bahwa aktifitas kesehariannya dibatasi. Pada zama dulu jarang sekali gadis-gadi yang belum menikah bertemu dengan laki-laki, bahkan untuk melihatnya saja susah. Hal karena kebanyakan dari mereka tinggal di atas rumah dan jarang dikenal oleh laki-laki karena selalu menggunakan busana yang disebut rimpu mpida ini.
2. Rimpu colo atau rimpu biasa.
Rimpu jenis colo diperuntukan untuk ibu-ibu atau wanita yang telah menikah. Rimpu model ini pada bagian wajah sudah dibolehkan untuk terbuka atau kelihatan. Saat ini di pasar-pasar tradisional masih bisa ditemui ibu-ibu yang menggunakan rimpu dengan sarung khas dari Bima yang terbuat dari kain katun hasil tenunan sendiri (tenun tangan), dengan warna yang bervariasi, warna yang cerah dan memiliki motif lokal masyarakat Bima.
Keistimewaannya Tembe Nggoli antara lain, hangat, halus dan lembut, tidak mudah kusut, dan warna kain tenunnya tahan (tidak mudah luntur). Saat ini, Tembe Nggoli sudah banyak diproduksi dalam berbagai corak dan motif. Ada yang biasa saja - untuk digunakan sehari-hari, dan ada pula yang istimewa, yaitu hanya digunakan pada acara-acara tertentu.