Moralitas anak dibentuk melalui proses belajar baik secara informal fomal dan non formal. Anak diperkenalkan nilai moral melalui 4 proses, yakni pembiasaan, pembelajaran, pembatinan dan pengamalan nilai moral sebagaimana nampak pada gambar berikut.
Proses penanaman nilai moral |
Pertama, proses pembiasaan adalah aktivitas pendidikan yang paling awal diperoleh anak. Proses ini dilakukan oleh orangtua sebagai pendidik pertama dan utama. Melalui pembiasaan, anak mulai diperkenalkan sejumlah nilai moral oleh orangtuanya. Di rumah, anak dibiasakan untuk mulai mempraktekkan beberapa etiket seperti: mencuci tangan sebelum makan, masuk rumah mesti mengetuk pintu, merunduk ketika melewati orang dewasa, memberi salam, mengucapkan terimakasih atas sebuah perbuatan baik dan sebagainya. Pembiasam-Pembiasaan tersebut dilakukan anak tanpa mereka sadari. Pembiasaan-pembiasaan mendapatkan penguatan ketika anak bersekolah di jalur formal dan non formal.
Kedua, proses pembelajaran adalah proses di mana anak mendapatkan transfer nilai moral oleh pendidik lain di luar intervensi orangtua. Jalurnya bisa lewat sekolah formal maupun jalur pendidikan non formal. Di sana anak mulai diajarkan/disosialisasikan oleh guru atau pendidik lain (pastor, imam, pendeta, instruktur dll) tentang sejumlah ajaran moral. Sumbernya bisa dari nilai-nilai agama, filsafat pancasila (pandangan hidup bangsa), nilai budaya, adat istiadat yang tumbuh dan berkembang di masyarakat.
Ketiga, Proses internalisasi adalah proses yang dicapai anak ketika semua ajaran moral yang dipahami secara kogitif, diresapi dalam hati anak. Inilah tahap pembatinan nilai-nilai moral sehingga menjadi bagian integral dari hidup individu.
Keempat, proses pengamalan nilai moral adalah proses implementasi nilai-nilai moral dalam hidup bersama dalam wujud sikap. Proses ini adalah kulminasi dari seluruh ajaran moral yang telah diperoleh anak dalam praktek hidup bersama orangtua, guru, rohaniwan bahkan komunitas masyarakat yang lebih luas dalam bentuk sikap moral.
Struktur sikap terdiri atas 3 komponen, yakni kognitif, efektif dan konatif.
Komponen kognitif, merupakan komponen pengetahuan, yakni keyakinan dan kesadaran individu yang terpola dalam pikirannnya.Hal tersebut nampak misalnya dalam persepsi, kepercayaan bahkan stereotipe dalam memahami dan menilai suatu perilaku atau situasi tertentu.
Komponen afektif, merupakan komponen perasaan, yakni berkenaan dengan aspek emosional seseorang terhadap situasi tertentu.Maka, ketika sebuah nilai moral dipahami seseorang mungkin saja sekedar mengerti arti dan peranan nilai tersebut. Ketika ditanya, individu dapat menjelaskan arti dan maknanya secara gamblang. Namun, belum tentu mempengaruhi afeksi atau perasaannya.
Nilai moral bisa mempengaruhi perasaan seseorang ketika pemahaman nilai tersebut menyatu dalam diri individu dan mempengaruhi perasaanya. Dalam konteks itu seorang lelaki yang menghargai pentingnya lembaga perkawinan, ia akan tersentuh perasaannya dan menangis, atau prihatin ketika mendengar perceraian temannya akibat isterinya selingkuh. Tentang perasaan moral pada anak-anak menurut Freud, (dalam Santrock, 2007:128) dapat ditelaah pada komponen kepribadian superego. Superego menurut Freud terdiri atas dua komponen utama, yakni ego ideal dan nurani. Ego ideal memberikan reward pada anak dengan rasa bangga dan nilai personal ketika anak berbuat sesuai dengan standar yang disetujui oleh orangtua. Nurani menghukum perilaku anak yang tidak disetujui orangtua dengan membuat anak merasa bersalah dan tidak berharga.
Komponen konatif, merupakan komponen tindakan atau perilaku, yakni bagaimana individu berperilaku atau memberi respon terhadap sebuah nilai moral. Terkait dengan suatu perbuatan moral, individu akan melakukannya tergantung pada kepercayaan dan perasaan yang bersangkutan terhadap suatu nilai moral.
Perilaku individu tidak selamanya konsisten dengan kepercayaan atau keyakinannya terhadap sebuah nilai moral. Misalnya, peserta didik yang menjunjung tinggi nilai pro sosial, tidak sekedar memahami (kognitif) pentingnya solider dengan mereka yang miskin-papa-hina-dina; seperti yang diajarkan dalam mata pelajaran agama dan PPKN. Tidak juga sekedar mengungkapkan perasaan (afeksi) terharu, ikut sedih atas musibah yang dialami para pemulung yang rumahnya dirusakan oleh petugas Satpol PP. Namun, langsung bertindak (konasi); memperlihatkan kepedulian dengan aksi nyata seperti: mengumpulkan bantuan, memberi tumpangan, memberi makan-minum kepada para pemulung yang rumahnya dirusakan.
Contoh di atas berbeda dengan seorang remaja yang mengerti bahaya mer0kok, karena ro0kok dapat merusak sel-sel otak, menjadi pemicu serangan jantung dan merusak imunitas tubuh terhadap serangan penyakit. Remaja tadi menyaksikan film tentang bahaya penyakit yang diderita sejumlah pero-kok. Ia pun menyadari bahaya mer0kok dan ancaman bagi kelangsungan hidupnya, dan mengungkapkan niatnya untuk tidak lagi mer0kok. Namun, ia tidak berhenti malah terus mer0kok.
Memperkuat perilaku bermoral anak, ada 4 hal penting yang mesti diperhatikan pendidik, yakni reinforcement dan punishment, imitasi dan identifikasi. Reinforcement and punishment (pemberian hadiah dan hukuman) menjadi salah satu instrumen yang menentukan frekuensi dan intensi perilaku moral.
Anak pada masa pertumbuhan awal, membutuhkan dukungan dari orangtua atau pendidik lainya. Maka, ketika mereka diberi reinforcement sebagai apresiasi atas suatu perilaku bermoral, mereka akan cenderung mengulangi perilaku tersebut. Sebaliknya, ketika mereka memperlihatkan perilaku imoral dan diberi punishment (hukuman), mereka cenderung akan menghindar. Keefektifan reward dan punishment, sangat tergantung pada konsistensi dan pengaturan waktu yang sesuai.
Dalam proses belajar sosial, perilaku bermoral anak diperoleh melalui imitasi dan identifikasi. Imitasi, adalah proses dimana anak meniru perilaku moral orang dewasa apa adanya dengan harapan bisa menambah harga diri dan mendapatkan penghargaan dari orang lain.
Sedangkan identifikasi adalah sebuah proses dimana anak mengambil keputusan untuk mengadopsi pendangan, sikap moral orang lain yang dikagumi sebagai sikap moralnya. Dalam konteks ini orang dewasa, menjadi modeling (contoh) yang baik untuk ditiru. Persoalannya teletak di sini bahwa kadang-kadang dalam lingkungan pergaulan antara anak dengan orang dewasa, justru anak meniru atau mencontoh hal yang imoral. Hal ini terjadi ketika perilaku yang ditampilkan orang tua atau orang dewasa di sekitar anak adalah perilaku yang tidak pantas. Dalam banyak kasus, anak-anak kadang-kadang dihadapkan pada pilihan dan keputusan moral yang sulit karena apa yang disosialisasikan oleh pendidik atau orang dewasa berbanding terbalik dengan perilaku moral aktual. Imitasi dan modeling kadang-kadang salah dilakukan anak karena antara teori dan praksis kehidupan pendidik terjadi inkonsistensi.
Dalam konteks itu perlu dibangun kesadaran bersama para pendidik agar nilai-nilai moral tidak sekedar dajarkan akan tetapi dialami dalam interaksi bersama anak. Praktek seperti inilah yang akan mengantarkan anak pada keputusan moral yang tepat. (Patris Rahabav: 2015)