Kata sial atau anggapan sial dalam akidah Islam berasal dari kata tathoyyur atau thiyorah. Kata thiyaroh secara bahasa diambil dari kata thoirun yang artinya burung. Hal ini maksudnya adalah bahwa orang arab zaman dahulu di zaman jahiliyyah ketika ingin membuat suatu perencanaan perjalanan (safar), maka mereka terlebih dahulu melihat pada pergerakan burung yang ada di sekitar.
Jika burung yang mereka lihat bergerak ke arah kanan, maka itu tandanya perjalanan yang akan mereka lakukan berjalan dengan baik, namun jika burung terebut bergerak sebaliknya kea rah kiri maka, bertanda bahwa perjalanan mereka akan mendatangkan musih sehingga harus dibatalkan.
Dalam Islam maksud dari thiyaroh ini sudah bersifat umum, sehingga tidak hanya dengan burung semata, namun segala sesuatu yang berkaitan dengan anggapan sial. Thiyaroh maksudnya adalah segala sesuatu yang dianggap sial ketika tertimpa suatu musibah yang tidak dilihat sebabnya dari sisi syar’i atau indariwi, baik itu dengan tumbuhan, waktu, orang, benda tertentu, angka, atau dengan tempat tertentu.
Siapa saja yang beranggapan sial maka dia telah mengkuti tradisi dan akidah kaum jahiliyah, karena tradisi semacam ini sudah ada jauh sebelum datangnya Nabi Muhammad saw. Salah satu contoh yang paling jelas adalah kisah Fir’aun yang beranggapan sial terhadap Nabi Musa a.s. dan para pengikutnya. Suatu ketika, ada bencana yang melanda Fir’aun dan rakyatnya lalu mereka menuduhkan hal itu karena Nabi Musa a.s.
Namun sebaliknya, ketika datang berbagai kebaikan, maka mereka mengatakan bahwa hal itu karena usaha merkea sendiri, dengan tidak menyebutkan bahwa kenikmatan yang mereka dapatkan berasal dari Allah. Hal ini terekam jelas dalam al-Quran surat Al-A’raf/7 ayat 131 sebagi berikut.
Terjemahannya: Kemudian apabila datang kepada mereka kemakmuran, mereka berkata: "Itu adalah karena (usaha) kami". Dan jika mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan orang-orang yang besertanya. Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui. (Q.S. Al-A’raf: 131).
Thiyaroh atau beranggapan sial, merupakan suatu perbuatan syirik atau menyekutukan Allah. Karena tidak percaya dengan takdir Allah yang telah ditentukan kepada manusia. Dalam hadis Rasulullah s.a.w. bersabda sebagaimana yang diriwayatkan oleh Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak dibenarkan menganggap penyakit menular dengan sendirinya (tanpa ketentuan Allah), tidak dibenarkan beranggapan sial, tidak dibenarkan pula beranggapan nasib malang karena tempat, juga tidak dibenarkan beranggapan sial di bulan Shafar” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadis lain yang berasal dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, menyebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak dibenarkan menganggap penyakit menular dengan sendirinya (tanpa ketentuan Allah) dan tidak dibenarkan beranggapan sial. Sedangkan al fa’lu membuatkan takjub.” Para sahabat bertanya, “Apa itu al fa’lu?” “Kalimat yang baik (thoyyib)”, jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dengan demikian maka, segala perbuatan yang mengarah kepada anggapa sial tanpa dilihat secara syar’i atau indrawi merupakan perbuatan yang dilarang oleh Allah s.w.t karena pada dasarnya manusia sudah ditentukan kehidupannya, seperti jodoh, rezeki, kematian dan sebagainya. Wallahu a’lam.
Jika burung yang mereka lihat bergerak ke arah kanan, maka itu tandanya perjalanan yang akan mereka lakukan berjalan dengan baik, namun jika burung terebut bergerak sebaliknya kea rah kiri maka, bertanda bahwa perjalanan mereka akan mendatangkan musih sehingga harus dibatalkan.
Dalam Islam maksud dari thiyaroh ini sudah bersifat umum, sehingga tidak hanya dengan burung semata, namun segala sesuatu yang berkaitan dengan anggapan sial. Thiyaroh maksudnya adalah segala sesuatu yang dianggap sial ketika tertimpa suatu musibah yang tidak dilihat sebabnya dari sisi syar’i atau indariwi, baik itu dengan tumbuhan, waktu, orang, benda tertentu, angka, atau dengan tempat tertentu.
Siapa saja yang beranggapan sial maka dia telah mengkuti tradisi dan akidah kaum jahiliyah, karena tradisi semacam ini sudah ada jauh sebelum datangnya Nabi Muhammad saw. Salah satu contoh yang paling jelas adalah kisah Fir’aun yang beranggapan sial terhadap Nabi Musa a.s. dan para pengikutnya. Suatu ketika, ada bencana yang melanda Fir’aun dan rakyatnya lalu mereka menuduhkan hal itu karena Nabi Musa a.s.
Namun sebaliknya, ketika datang berbagai kebaikan, maka mereka mengatakan bahwa hal itu karena usaha merkea sendiri, dengan tidak menyebutkan bahwa kenikmatan yang mereka dapatkan berasal dari Allah. Hal ini terekam jelas dalam al-Quran surat Al-A’raf/7 ayat 131 sebagi berikut.
فَإِذَا جَآءَتۡهُمُ ٱلۡحَسَنَةُ قَالُواْ لَنَا هَٰذِهِۦۖ وَإِن تُصِبۡهُمۡ سَيِّئَةٞ يَطَّيَّرُواْ بِمُوسَىٰ وَمَن مَّعَهُۥٓۗ أَلَآ إِنَّمَا طَٰٓئِرُهُمۡ عِندَ ٱللَّهِ وَلَٰكِنَّ أَكۡثَرَهُمۡ لَا يَعۡلَمُونَ
Terjemahannya: Kemudian apabila datang kepada mereka kemakmuran, mereka berkata: "Itu adalah karena (usaha) kami". Dan jika mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan orang-orang yang besertanya. Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui. (Q.S. Al-A’raf: 131).
Thiyaroh atau beranggapan sial, merupakan suatu perbuatan syirik atau menyekutukan Allah. Karena tidak percaya dengan takdir Allah yang telah ditentukan kepada manusia. Dalam hadis Rasulullah s.a.w. bersabda sebagaimana yang diriwayatkan oleh Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak dibenarkan menganggap penyakit menular dengan sendirinya (tanpa ketentuan Allah), tidak dibenarkan beranggapan sial, tidak dibenarkan pula beranggapan nasib malang karena tempat, juga tidak dibenarkan beranggapan sial di bulan Shafar” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadis lain yang berasal dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, menyebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak dibenarkan menganggap penyakit menular dengan sendirinya (tanpa ketentuan Allah) dan tidak dibenarkan beranggapan sial. Sedangkan al fa’lu membuatkan takjub.” Para sahabat bertanya, “Apa itu al fa’lu?” “Kalimat yang baik (thoyyib)”, jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dengan demikian maka, segala perbuatan yang mengarah kepada anggapa sial tanpa dilihat secara syar’i atau indrawi merupakan perbuatan yang dilarang oleh Allah s.w.t karena pada dasarnya manusia sudah ditentukan kehidupannya, seperti jodoh, rezeki, kematian dan sebagainya. Wallahu a’lam.