Cerita dari Keelokan Pantai Ngursarnadan di Kepulauan Kei

Backpacker di Kepulauan Kei: Cerita dari pasir putih di pantai Ngursarnadan
Motor yang saya kendarai terus melaju dengan kecepatan 60km/jam menelusuri jalan beraspal, menerjang panasnya suhu matahari yang hampir mecapai 30 derajat celcius. Jalanan tidak begitu ramai dengan hingar bingar suara mobil atau motor yang biasa kita lihat di dalam kota.

Di kota ini saya paling senang berwisata dengan mengendarai motor, banyak hal baru yang saya jumpai selama perjalanan. Bertemu dengan orang baru atau bertemu dengan orang yang sudah saya kenal lalu saling menegur sapa dengan membunyikan klakson motor atau sekedar menganggukkan kepala dan memberikan senyum terbaik yang saya miliki.

Sudah sekitar 35 menit perjalanan dari kota Tual menuju ke pantai dengan pasir yang lembut. Dari google map, jarak antara tempat tinggal saya dengan pantai Ngur Sarnadan yang terletak di Desa Ohoililir sekitar 18 km. Kalau hanya dengan berjalan kaki ala kelompok pecinta alam, mungkin waktu yang dibutuhkan untuk sampai ke tempat ini sekitar 3 jam lebih.

Matahari tak terik lagi, diganti dengan sejuknya angin laut yang bertiup pelan dari arah barat. Pohon kelapa dan pohon-pohon besar lainnya di sepanjang bibir pantai seakan berbicara bahwa "datanglah ke dalam dekapan jiwaku, duduklah dibawahku dan nikmatilah keindahan pantai ini. Jiwamu adalah jiwaku dan jiwaku adalah jiwamu, aku adalah pesona yang hadir untuk menghibur kegundahan hatimu".

Ahhhhh, ottak liarku mulai bermain dengan alam, sejenak saya sedang berkhayal di bawah pondokan yang beratapkan anyaman dari daun pohon rumbia dan bambu. Beberapa pondokan kecil yang berjejeran di pinggir pantai berpasir halus ini dibangun atas swadaya masyarakat. Sepertinya belum ada campur tangan dari luar termasuk pemerintah setempat. Semua masih terlihat alami, seperti jiwa murni yang belum disentuh oleh noda duniawi.

Saya sempat bercerita dengan seorang ibu penjual makanan di situ tentang pengelolaan tempat wisata Ngur Sarnadan. "Di sini adalah tanah petuanan dan tanah adat milik masyarakat Desa Ohoililir, sehingga pembangunan dan pengelolaan tidak bisa diambil alih secara langsung oleh pemerintah atau pihak ketiga".

Di satu sisi jika tidak ada investor yang didatangkan oleh pemerintah maka, tidak ada pembangunan vasilitas-vasilitas wisata, seperti hotel, penginapan, dan sarana pendukung lainnya. Namun jika diminta untuk memilih maka, saya lebih memilih pilihan pertama. Alasannya adalah agar tanah adat tidak hilang karena dijual kepada investor, pesona alam yang masih asri tetap terjaga dan yang paling penting bagi saya adalah pantai dengan pasir halus nan lembut ini tetap tenang sehingga menginspirasiku dalam menulis dan memulai langkah baru.

Foto-foto


Sudah sekitar jam 15.00 WIT, air laut mulai surut. Di kejauhan sana, saya melihat ada beberapa orang wisatawan manca negara sedang berjemuran di atas pasir. Di bagian atas mereka ada penginapan yang dikhusukan buat wisatwan yang ingin menginap.

Tempat wisata yang dekat dengan pantai pasir panjang ini selalu dikunjungi oleh wisatawan lokal maupun wisatawan manca Negara. Garis pantai yang dimilikinya menyatu dengan pantai pasir panjang, sehingga memungkinkan wisatawan untuk berjalan kaki menelusuri putihnya pasir dan tenangnya lautan.

Bumi terus berputar dan matahari seakan terus turun ke ufuk barat. Perahu-perahu yang berlabuh di depan pantai bergoyang mengikuti irama ombak yang datang menghampiri bibir pantai. Keduanya menghasilkan irama alam yang luar biasa merdunya. Anak anjing berserta induknya becengkrama di pinggir tripot yang saya pasang tak jauh dari tempat saya berteduh. Burung-burung berkicau di atas dahan-dahan pohon, sepertinya mereka sedang bersiap untuk pulang ke peraduan malam.

Sebagian besar pengunjung mulai bergegas pulang dengan mobil dan motor yang mereka kendarai, meninggalkan kami yang sedang menanti datangnya sunset. Beberapa penduduk setempat berlalu lalang melihat kegiatan saya dan pecinta sunset lainnya memansang alat dan mencari tempat terbaik untuk memotret. Tiga piramida exposure sedang disetting, mencari speed, diagfragma dan iso yang tepat untuk keadaan alam yang mulai gelap.

Di depan saya terpampang lukisan yang maha agung, dinding-dinding langit diukir dengan ukiran tangan yang tak terlihat, warna merah, kuning, dan biru berpadu membentuk pola warna yang indah. Sinar matahari memainkan perannya dalam membentuk gradasi warna, semua mata tertuju ke sana, ke kedalaman hasil karya sang pencipta.

Matahari semakin menjauh hingga tenggelam di belahan bumi yang lain. Gelap sudah menghampiri, namun sisa-sisa cahaya masih tertinggal di dinding-dinding langit. Bulan mulai muncul dari sebelah timur, cahaya yang dipancarkan oleh bulan dan warna langit menggoda selera untuk bertahan sejenak menikmati pemandangan yang jarang saya temui ini.

Seberkas cahaya muncul dari kejauhan, sepertinya ada penduduk desa yang menyalakan lampu pelita di dalam pondokan kecilnya yang ia gunakan sebagai tempat berjualan gorengan, ikan bakar, dan menu makanan lain. Rasanya saya belum puas menikmati kemegahan alam tadi, mungkin nanti saya akan bertemu dengannya lagi di kala saya kembali ke sini.

Tempat wisata yang terletak di kecamatan kei-kecil, kabupaten Maluku Tenggara ini selalu memikat hati orang yang pernah ke sini. Pasirnya yang halus seperti tepung, pepohonan yang rindang, suasana alam yang masih asri terlebih sunsetnya yang menyisahkan rindu.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama