Menelusuri Islam di Nusantara menjadi salah satu kegiatan ilmiah yang sangat menarik, karena Indonesia merupakan negara kepulauan yang di dalamnya terdapat berbagai macam suku, bangsa, dan etnis dengan adat istiadat dan budaya yang berbeda-beda. Perbedaan yang ada di dalam bangsa ini menjadi warna tersendiri dalam kehidupan beragama, sehingga wajah Islam di Nusantara secara budaya dan tradisi agak berbeda dengan wajah Islam di Arab atau di negara lain. Namun sangat disayangkan, semakin hari wajah Islam Indonesia yang sejuk dan toleran mulai direduksi dengan model Islam luar yang berwajah "radikal" dan itu bukan menjadi representasi Islam rahmatan lil alamin.
Intoleransi atas nama agama serta tumbuhnya semangat keagamaan di Indonesia belakangan ini sering dihubungkan dengan kebijaksanaan non-akomodatif pada saat Orde Baru dalam memperlakukan umat Islam. Sikap antagonis Soeharto pada Islam, terutamanya pada saat-saat awal kekuasaannya, sering diklaim sudah menggerakkan tumbuhnya golongan Islam transnasional. Tekanan Soeharto yang terlalu berlebih pada pergerakan Islam politik membuat artikulasi keislaman mereka terhambat. Oleh karenanya, kala rezim Orde Baru jatuh serta muncul kebebasan yang lumayan besar, beberapa golongan Islam politik itu banyak bermunculan.
Tidak ada yang salah dari penjelasan itu, akan tetapi mengabaikan factor sejarah yang lebih panjang bisa menghambat kita dalam memandang masalah dengan lebih mendalam serta adil.
Perubahan Islam Indonesia saat ini tidak bisa dipisahkan dari latar belakang masa lalunya yang bagitu panjang. Bangkitnya semangat keagamaan yang muncul akhir-akhir ini tidak tampil demikian saja, tetapi merupakan bagian dari serangkaian perjalanan panjang proses islamisasi di Indonesia.
Sebelum Islam masuk, Jawa sudah diketahui menjadi salah satu wilayah yang mempunyai peradaban yang maju. Perihal ini, dapat dibuktikan dengan kehadiran beberapa karya sastra, candi, serta kerajaan Hindu-Buddha. Sesudah Islam masuk, budaya Islam mulai membaur dengan budaya Jawa hingga menghisalkan satu sintesa mistik (mystic synthesis) yang diambil dari beberapa kebiasaan serta khazanah budaya Indonesia pra-Islam (Hindu-Buddha dan kebiasaan Jawa) dan ajaran Islam. Budaya Islam waktu itu bisa di terima sebab menjadi salah satu khazanah budaya yang kaya. Oleh sebab pencampuran itu, sebagian besar umat Islam di Indonesia pada rentang abad ke-14 sampai awal abad ke-19, menjalankan agama mereka dengan semangat sinkretis seperti ini.
Pandangan sinkretis itu jadikan umat Islam waktu itu begitu religius dalam kesadaran jalinan mereka dengan kesatuan serta ketergantungan pada prinsip kosmik yang meliputi semua yang mengendalikan kehidupan mereka.
Abangan dan Putihan
Abangan ialah panggilan untuk kelompok masyarakat Jawa Muslim yang menjalankan Islam dalam bentuk yang lebih sinkretis jika dibanding dengan kelompok santri yang lebih ortodoks. Istilah ini diambil dari kata bahasa Jawa yang bermakna merah, kali pertama digunakakan oleh Clifford Geertz, akan tetapi sekarang ini maknanya sudah berubah. Abangan condong mengikuti sistem keyakinan lokal yang disebut adat daripada hukum Islam murni. Dalam sistem keyakinan itu ada tradisi-tradisi Hindu, Buddha, serta animisme. Akan tetapi beberapa sarjana memiliki pendapat kalau apa yang secara klasik dianggap bentuk variasi Islam di Indonesia, seringkali adalah sisi dari agama tersebut di negara lainnya. Menjadi contoh, Martin van Bruinessen mencatat terdapatnya persamaan pada kebiasaan serta praktek yang dilakukan jaman dulu di kelompok umat Islam di Mesir.
Menurut cerita penduduk, kata abangan diprediksikan datang dari kata Bahasa Arab aba'an. Lidah orang Jawa membaca huruf 'ain jadi ngain. Makna aba'an kira-kira ialah "yang tidak konsekwen" atau "yang meninggalkan". Jadi beberapa ulama dahulu memberi julukan pada beberapa orang yang telah masuk Islam tetapi tidak menjalankan syariat (Bahasa Jawa: sarengat) ialah golongan aba'an atau abangan. Jadi, kata "abang" di sini tidak dari kata Bahasa Jawa abang yang bermakna warna merah
Pengertian Islam abangan ialah panggilan untuk kaum muslim atau penduduk Jawa yang mengakui beragama Islam. Islam abangan ini adalah kombinasi pada animism, hinduisme serta Islam. Diluar itu Islam abangan pun memberi ruangan pada keyakinan susah pada roh serta teori tentang pengetahuan hitam serta perdukunan
Bicara tentang munculnya terminologi abangan, Merle Ricklefs, sejarawan Australia, menuturkan jika timbulnya arti abangan dalam skema penduduk Jawa bertepatan dengan kejadian kebangkitan/pemurnian Islam yang diawali pada paruh pertama abad ke-19 sampai awal abad ke-20.
Ricklefs dalam bukunya Polarising Javanese Society: Islamic and Other Visions 1830-1930 berpandangan jika proses kebangkitan Islam di Jawa berawal sesudah berakhirnya Perang Jawa (1830). Pada rintang periode sesudah momen itu muncul gelombang pasang golongan “putihan” yang tidak ada presedennya dalam sejarah Indonesia.
Arti putihan ini mengacu pada muslim yang begitu berdasar teguh pada ajaran al-Quran serta Hadis. Menurut laporan beberapa misionaris Nederlandsche Zendelinggenootschap (NZG), arti putihan lebih popular menjadi lawan kata “abangan” yang baru muncul pada abad ke-19. Riwayat munculnya arti itu terpenting untuk memerhatikan semula timbulnya polarisasi dalam penduduk Islam di Jawa serta sekaligus juga menjadi semula lahirnya kesadaran baru penduduk muslim Indonesia.
Era ke-19 ialah waktu yang begitu memastikan buat budaya serta peradaban di semua dunia, termasuk juga wilayah-wilayah yang mayoristas penduduknya beragama Islam. Waktu ini bisa disebutkan menjadi waktu yang penting buat riwayat serta hari esok kehidupan beragama di Indonesia. Beberapa polarisasi serta ketegangan sosial yangterjadi pasa waktu ini mempunyai implikasi jauh kedepan.
Arti abangan muncul awal abad itu. Golongan putihan ialah golongan yang pertama-tama mengenalkan arti abangan untuk menghina muslim lainnya yang tidak menjalankan syariat Islam dengan prima. Arti abangan sendiri datang dari kata Jawa rendahan (ngoko) abang, bermakna warna merah atau coklat. Pada saat itu, arti yang biasa dipakai ialah bangsa abangan atau wong abangan. Dalam kata Jawa Tinggi (kromo) dimaksud abrit serta beberapa orang ini dimaksud tiyang abritan.
Di lainnya pihak, golongan putihan yang disebut minoritas waktu itu, memandang grup mereka menjadi grup yang sangat saleh sebab menjalankan syariat Islam seperti di Timur Tengah. Beberapa haji serta pelajar yang pulang dari Mekah mainkan peranan lumayan besar dalam menyemai tumbuhnya golongan putihan di Indonesia. Jumlahnya mereka juga cukuplah banyak, terdaftar pada tiga dekade paling akhir era ke-19, sekitar 4000-8000 –15% dari keseluruhnya jamaah di Arab– jamaah haji pergi ke Arab tiap-tiap tahunnya. Mereka berikut yang dengan santer serta terus-terusan lakukan pemurnian Islam di Nusantara. Tentunya, sebagai mode buat mereka ialah praktek-praktek Islam yang digerakkan di Timur Tengah, di Jazirah Arab terutamanya yang waktu itu tengah tumbuh cepat pergerakan Wahhabi.
Hubungan dengan Wahabi
Jika dihubungkan dengan riwayat perubahan Islam di Timur Tengah, maka pada saat abad ke-18 sampai 19 adalah periode perubahan untuk gerakan Wahhabi di wilayah Arab. Wahhabisme sendiri adalah pergerakan pemurnian yang dicetuskan oleh Muhammad Abd al-Wahhab pada abad ke-18, menjadi tanggapan pada ajaran-ajaran Islam yang disintesiskan dengan ajaran tradisionil ditempat. Dia memandang praktik Islam semacam itu menjadi tingkah laku syirik atau politeisme. Pada awal abad ke-19, Wahhabisme masukkan ajaran-ajaran Ibn Taimiyah ke ajaran inti mereka serta praktik mengkafirkan muslim lainnya (takfir) yang sempat tidak diterima oleh Abd al-Wahhab malah dijadikan menjadi satu diantara praktik mereka yang menonjol. Sampai sekarang ini juga, pergerakan ini bersikukuh jika umat Islam yang tidak terima atau menjalankan doktrin-doktrin mereka ialah kafir.
Kelahiran abangan di Jawa serta perubahan Wahhabi di Arab yang bertepatan menguatkan anggapan jika ada banyak jamaah haji Indonesia yang pulang dari tanah suci membawa doktrin Wahhabi untuk selanjutnya diaplikasikan di Jawa. Penerapan semacam ini yang selanjutnya menimbulkan dikotomi abangan serta putihan di Jawa, sebab menurut Ricklefs golongan abangan merupakan orang-orang menjalankan ibadah yang dicampurkan dengan kebiasaan yang dipandang oleh orang putihan menjadi bidah serta sesat. Karena itu satu diantara misi penting mereka ialah meluruskan praktek-praktek Islam lokal yang dikerjakan oleh golongan abangan.
Mengembangnya Polarisasi
Dikotomi pada kelompok putihan serta kelompok abangan dalam memeluk Islam bukan sekedar tergambarkan dalam praktik keagamaan, tapi pun menggambarkan ketidaksamaan sosial yang lebih umum. Bangsa putihan biasanya lebih kaya, aktif dalam perdagangan atau perusahaan, mengenakan pakaian lebih baik, mempunyai rumah yang lebih baik, terlihat lebih baik dalam tatakrama, menjauhi opium, judi, menjalankan rukun Islam, serta lebih memberikan perhatian lebih pada pendidikan anak-anak mereka.
Selain itu golongan Abangan lebih tertarik pada ritual-ritual yang terkait dengan alam serta jalinan sosial antar manusia. Jadi walau mereka lebih miskin, akan tetapi lebih aktif dalam kegiatan yang terkait dengan kebiasaan seperti slametan, pertunjukkan wayang serta gamelan dibanding menjalankan rukun Islam serta memperlihatkan kesalehan agama. Tingkah laku abangan ini sering menyebabkan perseteruan antar kelompok, sebab banyak juga kelompok putihan yang memandang pertunjukan wayang menjadi suatu yang terlarang dalam ajaran Islam.
Abangan serta putihan ialah dunia yang berlainan keduanya. Mereka dibedakan berdasar pada kelas sosial, penghasilan, pekerjaan, busana, pendidikan, sopan santun, kehidupan budaya, serta metode dalam membesarkan anak-anak. Ketidaksamaan ini makin berkembang sampai merambah pada sektor ekonomi yang mencakup (perdagangan, peminjaman uang, serta hutang). Selanjutnya kebutuhan mereka yang sama-sama bertentangan dengan gampangnya menyebabkan ketidaksukaan serta perseteruan.
Pada awal abad ke-20, identitas-identitas Jawa yang saling bertentangan ini kemudian dilembagakan dalam organisasi-organisasi moderen dan utamanya politik. Sesudah itu mereka jadi lebih kaku serta konfliktual.
Terkait dengan paparan diatas, seharusnya perpecahan pada golongan abangan dan putihan bisa dijadikan menjadi pelajaran pada saat sekarang, supaya kerukunan serta toleransi yang sudah jadi jati diri masyarakat Indonesia terus terbangun. Tanpa adanya kesadaran pada peristiwa masa lampau, maka bangsa ini selanjutnya cuma akan terjerat pada ego masing-masing yang tidak memberikan faedah apa pun buat perubahan negara ini. Ketidaksamaan aliran serta praktik keagamaan semestinya disikapi melalui cara yang bijak. Sikap-sikap arogan yang memandang golongannya sangat suci atau benar, dan memandang kelompok lainnya lebih rendah semestinya dijauhi. Dengan kedewasaan sikap itu, maka Islam Indonesia bisa bersemai kembali dengan jati diri aslinya yang penuh toleransi serta menjunjung tinggi persatuan.
Intoleransi atas nama agama serta tumbuhnya semangat keagamaan di Indonesia belakangan ini sering dihubungkan dengan kebijaksanaan non-akomodatif pada saat Orde Baru dalam memperlakukan umat Islam. Sikap antagonis Soeharto pada Islam, terutamanya pada saat-saat awal kekuasaannya, sering diklaim sudah menggerakkan tumbuhnya golongan Islam transnasional. Tekanan Soeharto yang terlalu berlebih pada pergerakan Islam politik membuat artikulasi keislaman mereka terhambat. Oleh karenanya, kala rezim Orde Baru jatuh serta muncul kebebasan yang lumayan besar, beberapa golongan Islam politik itu banyak bermunculan.
Tidak ada yang salah dari penjelasan itu, akan tetapi mengabaikan factor sejarah yang lebih panjang bisa menghambat kita dalam memandang masalah dengan lebih mendalam serta adil.
Perubahan Islam Indonesia saat ini tidak bisa dipisahkan dari latar belakang masa lalunya yang bagitu panjang. Bangkitnya semangat keagamaan yang muncul akhir-akhir ini tidak tampil demikian saja, tetapi merupakan bagian dari serangkaian perjalanan panjang proses islamisasi di Indonesia.
Sebelum Islam masuk, Jawa sudah diketahui menjadi salah satu wilayah yang mempunyai peradaban yang maju. Perihal ini, dapat dibuktikan dengan kehadiran beberapa karya sastra, candi, serta kerajaan Hindu-Buddha. Sesudah Islam masuk, budaya Islam mulai membaur dengan budaya Jawa hingga menghisalkan satu sintesa mistik (mystic synthesis) yang diambil dari beberapa kebiasaan serta khazanah budaya Indonesia pra-Islam (Hindu-Buddha dan kebiasaan Jawa) dan ajaran Islam. Budaya Islam waktu itu bisa di terima sebab menjadi salah satu khazanah budaya yang kaya. Oleh sebab pencampuran itu, sebagian besar umat Islam di Indonesia pada rentang abad ke-14 sampai awal abad ke-19, menjalankan agama mereka dengan semangat sinkretis seperti ini.
Pandangan sinkretis itu jadikan umat Islam waktu itu begitu religius dalam kesadaran jalinan mereka dengan kesatuan serta ketergantungan pada prinsip kosmik yang meliputi semua yang mengendalikan kehidupan mereka.
Abangan dan Putihan
Abangan ialah panggilan untuk kelompok masyarakat Jawa Muslim yang menjalankan Islam dalam bentuk yang lebih sinkretis jika dibanding dengan kelompok santri yang lebih ortodoks. Istilah ini diambil dari kata bahasa Jawa yang bermakna merah, kali pertama digunakakan oleh Clifford Geertz, akan tetapi sekarang ini maknanya sudah berubah. Abangan condong mengikuti sistem keyakinan lokal yang disebut adat daripada hukum Islam murni. Dalam sistem keyakinan itu ada tradisi-tradisi Hindu, Buddha, serta animisme. Akan tetapi beberapa sarjana memiliki pendapat kalau apa yang secara klasik dianggap bentuk variasi Islam di Indonesia, seringkali adalah sisi dari agama tersebut di negara lainnya. Menjadi contoh, Martin van Bruinessen mencatat terdapatnya persamaan pada kebiasaan serta praktek yang dilakukan jaman dulu di kelompok umat Islam di Mesir.
Menurut cerita penduduk, kata abangan diprediksikan datang dari kata Bahasa Arab aba'an. Lidah orang Jawa membaca huruf 'ain jadi ngain. Makna aba'an kira-kira ialah "yang tidak konsekwen" atau "yang meninggalkan". Jadi beberapa ulama dahulu memberi julukan pada beberapa orang yang telah masuk Islam tetapi tidak menjalankan syariat (Bahasa Jawa: sarengat) ialah golongan aba'an atau abangan. Jadi, kata "abang" di sini tidak dari kata Bahasa Jawa abang yang bermakna warna merah
Pengertian Islam abangan ialah panggilan untuk kaum muslim atau penduduk Jawa yang mengakui beragama Islam. Islam abangan ini adalah kombinasi pada animism, hinduisme serta Islam. Diluar itu Islam abangan pun memberi ruangan pada keyakinan susah pada roh serta teori tentang pengetahuan hitam serta perdukunan
Bicara tentang munculnya terminologi abangan, Merle Ricklefs, sejarawan Australia, menuturkan jika timbulnya arti abangan dalam skema penduduk Jawa bertepatan dengan kejadian kebangkitan/pemurnian Islam yang diawali pada paruh pertama abad ke-19 sampai awal abad ke-20.
Ricklefs dalam bukunya Polarising Javanese Society: Islamic and Other Visions 1830-1930 berpandangan jika proses kebangkitan Islam di Jawa berawal sesudah berakhirnya Perang Jawa (1830). Pada rintang periode sesudah momen itu muncul gelombang pasang golongan “putihan” yang tidak ada presedennya dalam sejarah Indonesia.
Arti putihan ini mengacu pada muslim yang begitu berdasar teguh pada ajaran al-Quran serta Hadis. Menurut laporan beberapa misionaris Nederlandsche Zendelinggenootschap (NZG), arti putihan lebih popular menjadi lawan kata “abangan” yang baru muncul pada abad ke-19. Riwayat munculnya arti itu terpenting untuk memerhatikan semula timbulnya polarisasi dalam penduduk Islam di Jawa serta sekaligus juga menjadi semula lahirnya kesadaran baru penduduk muslim Indonesia.
Era ke-19 ialah waktu yang begitu memastikan buat budaya serta peradaban di semua dunia, termasuk juga wilayah-wilayah yang mayoristas penduduknya beragama Islam. Waktu ini bisa disebutkan menjadi waktu yang penting buat riwayat serta hari esok kehidupan beragama di Indonesia. Beberapa polarisasi serta ketegangan sosial yangterjadi pasa waktu ini mempunyai implikasi jauh kedepan.
Arti abangan muncul awal abad itu. Golongan putihan ialah golongan yang pertama-tama mengenalkan arti abangan untuk menghina muslim lainnya yang tidak menjalankan syariat Islam dengan prima. Arti abangan sendiri datang dari kata Jawa rendahan (ngoko) abang, bermakna warna merah atau coklat. Pada saat itu, arti yang biasa dipakai ialah bangsa abangan atau wong abangan. Dalam kata Jawa Tinggi (kromo) dimaksud abrit serta beberapa orang ini dimaksud tiyang abritan.
Di lainnya pihak, golongan putihan yang disebut minoritas waktu itu, memandang grup mereka menjadi grup yang sangat saleh sebab menjalankan syariat Islam seperti di Timur Tengah. Beberapa haji serta pelajar yang pulang dari Mekah mainkan peranan lumayan besar dalam menyemai tumbuhnya golongan putihan di Indonesia. Jumlahnya mereka juga cukuplah banyak, terdaftar pada tiga dekade paling akhir era ke-19, sekitar 4000-8000 –15% dari keseluruhnya jamaah di Arab– jamaah haji pergi ke Arab tiap-tiap tahunnya. Mereka berikut yang dengan santer serta terus-terusan lakukan pemurnian Islam di Nusantara. Tentunya, sebagai mode buat mereka ialah praktek-praktek Islam yang digerakkan di Timur Tengah, di Jazirah Arab terutamanya yang waktu itu tengah tumbuh cepat pergerakan Wahhabi.
Hubungan dengan Wahabi
Jika dihubungkan dengan riwayat perubahan Islam di Timur Tengah, maka pada saat abad ke-18 sampai 19 adalah periode perubahan untuk gerakan Wahhabi di wilayah Arab. Wahhabisme sendiri adalah pergerakan pemurnian yang dicetuskan oleh Muhammad Abd al-Wahhab pada abad ke-18, menjadi tanggapan pada ajaran-ajaran Islam yang disintesiskan dengan ajaran tradisionil ditempat. Dia memandang praktik Islam semacam itu menjadi tingkah laku syirik atau politeisme. Pada awal abad ke-19, Wahhabisme masukkan ajaran-ajaran Ibn Taimiyah ke ajaran inti mereka serta praktik mengkafirkan muslim lainnya (takfir) yang sempat tidak diterima oleh Abd al-Wahhab malah dijadikan menjadi satu diantara praktik mereka yang menonjol. Sampai sekarang ini juga, pergerakan ini bersikukuh jika umat Islam yang tidak terima atau menjalankan doktrin-doktrin mereka ialah kafir.
Kelahiran abangan di Jawa serta perubahan Wahhabi di Arab yang bertepatan menguatkan anggapan jika ada banyak jamaah haji Indonesia yang pulang dari tanah suci membawa doktrin Wahhabi untuk selanjutnya diaplikasikan di Jawa. Penerapan semacam ini yang selanjutnya menimbulkan dikotomi abangan serta putihan di Jawa, sebab menurut Ricklefs golongan abangan merupakan orang-orang menjalankan ibadah yang dicampurkan dengan kebiasaan yang dipandang oleh orang putihan menjadi bidah serta sesat. Karena itu satu diantara misi penting mereka ialah meluruskan praktek-praktek Islam lokal yang dikerjakan oleh golongan abangan.
Mengembangnya Polarisasi
Dikotomi pada kelompok putihan serta kelompok abangan dalam memeluk Islam bukan sekedar tergambarkan dalam praktik keagamaan, tapi pun menggambarkan ketidaksamaan sosial yang lebih umum. Bangsa putihan biasanya lebih kaya, aktif dalam perdagangan atau perusahaan, mengenakan pakaian lebih baik, mempunyai rumah yang lebih baik, terlihat lebih baik dalam tatakrama, menjauhi opium, judi, menjalankan rukun Islam, serta lebih memberikan perhatian lebih pada pendidikan anak-anak mereka.
Selain itu golongan Abangan lebih tertarik pada ritual-ritual yang terkait dengan alam serta jalinan sosial antar manusia. Jadi walau mereka lebih miskin, akan tetapi lebih aktif dalam kegiatan yang terkait dengan kebiasaan seperti slametan, pertunjukkan wayang serta gamelan dibanding menjalankan rukun Islam serta memperlihatkan kesalehan agama. Tingkah laku abangan ini sering menyebabkan perseteruan antar kelompok, sebab banyak juga kelompok putihan yang memandang pertunjukan wayang menjadi suatu yang terlarang dalam ajaran Islam.
Abangan serta putihan ialah dunia yang berlainan keduanya. Mereka dibedakan berdasar pada kelas sosial, penghasilan, pekerjaan, busana, pendidikan, sopan santun, kehidupan budaya, serta metode dalam membesarkan anak-anak. Ketidaksamaan ini makin berkembang sampai merambah pada sektor ekonomi yang mencakup (perdagangan, peminjaman uang, serta hutang). Selanjutnya kebutuhan mereka yang sama-sama bertentangan dengan gampangnya menyebabkan ketidaksukaan serta perseteruan.
Pada awal abad ke-20, identitas-identitas Jawa yang saling bertentangan ini kemudian dilembagakan dalam organisasi-organisasi moderen dan utamanya politik. Sesudah itu mereka jadi lebih kaku serta konfliktual.
Terkait dengan paparan diatas, seharusnya perpecahan pada golongan abangan dan putihan bisa dijadikan menjadi pelajaran pada saat sekarang, supaya kerukunan serta toleransi yang sudah jadi jati diri masyarakat Indonesia terus terbangun. Tanpa adanya kesadaran pada peristiwa masa lampau, maka bangsa ini selanjutnya cuma akan terjerat pada ego masing-masing yang tidak memberikan faedah apa pun buat perubahan negara ini. Ketidaksamaan aliran serta praktik keagamaan semestinya disikapi melalui cara yang bijak. Sikap-sikap arogan yang memandang golongannya sangat suci atau benar, dan memandang kelompok lainnya lebih rendah semestinya dijauhi. Dengan kedewasaan sikap itu, maka Islam Indonesia bisa bersemai kembali dengan jati diri aslinya yang penuh toleransi serta menjunjung tinggi persatuan.