Menjauhi isbal (berpakaian lebih dari pergelangan/mata kaki), bagi sebagian orang itu dipahami sebagai perintah wajib. Ini memunculkan beberapa fenomena baru tentang prosedur berpakaian, terutama bagi laki-laki, seperti celana, jubah, atau apapun di atas pergelangan kaki. Benarkah larangan pengurangan pakaian itu mutlak tanpa pengecualian sama sekali?
Untuk menjawab pertanyaan ini, Lembaga Dar al-Ifta Fatwa Mesir mengungkapkan pandangan dari berbagai literatur ulama empat mazhab fikih.
Sejumlah hadist memang menunjukkan larangan terhadap laki-laki. Di antaranya adalah hadits Bukhari dari Abu Hurairah. Rasulullah SAW berkata, "Pakaian yang melebihi dua pergelangan kaki kemudian (pemakainya) di neraka."
Namun, menurut Dar al-Ifta ', larangan ini berarti tidak mutlak karena dibatasi oleh hadist lain yang memberikan batasan, yang dilarang jika disertai dengan rasa arogansi, kesombongan, dan membanggakan diri dengan pakaian dan apa pun yang mereka punya.
Dalam tradisi sejumlah lapisan masyarakat, pada waktu itu, panjang pakaian digunakan sebagai tolok ukur untuk kualitas dan strata sosial yang bersangkutan. Hadits Bukhari dari Abdullah bin Umar RA menyatakan bahwa, siapa pun yang memanjangkan pakaiannya karena kesombongan (khuyala'), Allah tidak akan melihatnya nanti di akhirat.
Abu Bakar kemudian berkata, "Seseorang merentangkan bajuku untuk bersantai, apakah ini termasuk?" Nabi menjawab, "Kamu (Abu Bakar) tidak melakukannya karena kesombongan."
Pembatasan ini juga telah menjadi kesepakatan para ulama. Isbal yang dilarang itu memang mengandung unsur arogansi, kesombongan, dan glamoritas.
Dalam buku al-Fatawa al-Hindiyyah, yang bercorak Hanafi, disebutkan bahwa isbal berpakaian untuk pria selama tidak dimaksudkan untuk kesombongan, hukumnya adalah makruh tanzih (makruh yang dimaksudkan untuk menghindari hal-hal yang dapat merusak kehormatan).
Menurut Imam Abu al-Walid al-Baji al-Maliki, dalam buku al-Muntaqa menyatakan bahwa, sabda Rasul "siapa pun yang memperpanjang pakaiannya karena kesombongan", maksudnya sangat terkait dengan unsur arogan dan kesombongan.
Sementara memperpanjang pakaian karena itu adalah pakaian panjang, atau tidak menemukan pakaian lain, atau karena alasan tertentu, maka itu tidak termasuk yang diperingatkan.
Syekh Zakariya al-Ansari dalam buku Asna al-Mathalib yang memiliki corak Syafi'i menjelaskan bahwa pakaian yang memanjang melebihi kedua mata kaki karena sombong, hukumnya memang haram. Dan jika dilakukan karena selain kesombongan hukumnya adalah makruh.
Imam Ibn Quddamah al-Hanbali dalam bukunya al-Mughni, mengatakan bahwa pemanjangan pakaian dalam bentuk jubah atau celana sampai ke pergelangan kaki, hukumnya makruh. Jika itu dilakukan karena kesombongan, maka hukumnya adalah haram.
Pembatasan isbal yang dilarang dengan unsur kesombongan juga disampaikan oleh Ibnu Taimiyah dalam Kitab Syarh ‘Umdat al-Fiqh.
Pada akhir pemaparan, Dar al-Ifta 'menekankan bahwa isbal yang dilarang adalah yang mengandung unsur-unsur keangkuhan, kesombongan, dan glamoritas.
Jika tidak ada unsur-unsur seperti itu, maka bukan haram, terutama karena adat atau tradisi di era saat ini tidak selalu memiliki pakaian di bawah pergelangan kaki yang memiliki kaitan dengan kesombongan. Berbeda dengan tradisi yang berlaku saat itu.
Untuk menjawab pertanyaan ini, Lembaga Dar al-Ifta Fatwa Mesir mengungkapkan pandangan dari berbagai literatur ulama empat mazhab fikih.
Sejumlah hadist memang menunjukkan larangan terhadap laki-laki. Di antaranya adalah hadits Bukhari dari Abu Hurairah. Rasulullah SAW berkata, "Pakaian yang melebihi dua pergelangan kaki kemudian (pemakainya) di neraka."
Namun, menurut Dar al-Ifta ', larangan ini berarti tidak mutlak karena dibatasi oleh hadist lain yang memberikan batasan, yang dilarang jika disertai dengan rasa arogansi, kesombongan, dan membanggakan diri dengan pakaian dan apa pun yang mereka punya.
Dalam tradisi sejumlah lapisan masyarakat, pada waktu itu, panjang pakaian digunakan sebagai tolok ukur untuk kualitas dan strata sosial yang bersangkutan. Hadits Bukhari dari Abdullah bin Umar RA menyatakan bahwa, siapa pun yang memanjangkan pakaiannya karena kesombongan (khuyala'), Allah tidak akan melihatnya nanti di akhirat.
Abu Bakar kemudian berkata, "Seseorang merentangkan bajuku untuk bersantai, apakah ini termasuk?" Nabi menjawab, "Kamu (Abu Bakar) tidak melakukannya karena kesombongan."
Pembatasan ini juga telah menjadi kesepakatan para ulama. Isbal yang dilarang itu memang mengandung unsur arogansi, kesombongan, dan glamoritas.
Dalam buku al-Fatawa al-Hindiyyah, yang bercorak Hanafi, disebutkan bahwa isbal berpakaian untuk pria selama tidak dimaksudkan untuk kesombongan, hukumnya adalah makruh tanzih (makruh yang dimaksudkan untuk menghindari hal-hal yang dapat merusak kehormatan).
Menurut Imam Abu al-Walid al-Baji al-Maliki, dalam buku al-Muntaqa menyatakan bahwa, sabda Rasul "siapa pun yang memperpanjang pakaiannya karena kesombongan", maksudnya sangat terkait dengan unsur arogan dan kesombongan.
Sementara memperpanjang pakaian karena itu adalah pakaian panjang, atau tidak menemukan pakaian lain, atau karena alasan tertentu, maka itu tidak termasuk yang diperingatkan.
Syekh Zakariya al-Ansari dalam buku Asna al-Mathalib yang memiliki corak Syafi'i menjelaskan bahwa pakaian yang memanjang melebihi kedua mata kaki karena sombong, hukumnya memang haram. Dan jika dilakukan karena selain kesombongan hukumnya adalah makruh.
Imam Ibn Quddamah al-Hanbali dalam bukunya al-Mughni, mengatakan bahwa pemanjangan pakaian dalam bentuk jubah atau celana sampai ke pergelangan kaki, hukumnya makruh. Jika itu dilakukan karena kesombongan, maka hukumnya adalah haram.
Pembatasan isbal yang dilarang dengan unsur kesombongan juga disampaikan oleh Ibnu Taimiyah dalam Kitab Syarh ‘Umdat al-Fiqh.
Pada akhir pemaparan, Dar al-Ifta 'menekankan bahwa isbal yang dilarang adalah yang mengandung unsur-unsur keangkuhan, kesombongan, dan glamoritas.
Jika tidak ada unsur-unsur seperti itu, maka bukan haram, terutama karena adat atau tradisi di era saat ini tidak selalu memiliki pakaian di bawah pergelangan kaki yang memiliki kaitan dengan kesombongan. Berbeda dengan tradisi yang berlaku saat itu.